Wednesday, March 5, 2014

Kaidah- kaidah fiqhiyyah, cabang- cabangnya, dan pembahasan nikah tanpa wali dalam kaidah Al masyaqqah tajlibu Al- Taysir



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Fiqh dirumuskan sebagai karya intelektual tentang hukum dengan basis teks-teks keagamaan terutama Al-Qur’an dan Hadist. Rumusan sistematis ini dan epistimologis tertentu terhadap gugus persoalan manusia baik dalam urusan personal maupun sosial.
Dalam prosesi pernikahan, aturan normatif yang mendasari konsep metode dan pelaksanaannya serta dalam institusi hukum syariat menelurkan butir-butir keputusan yang titik sentralnya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Sebagaimana karakteristik masalah Fiqhiyyah lainnya. Aturan asasi pernikahan juga menyimpan banyak polemik. Salah satu prasyarat yang sangat krusial diperdebatkan adalah Eksistensi Perwalian dalam Nikah. Apakah salah satu elemen yang menentukan keabsahan prosesi nikah?.
Dengan metode perdekatan yang dipakai oleh para ulama dalam menganalisa realitas sosial, sejarah pembentukan dan penerapan syariat memang sangat dipengaruhi kondisi daerah di mana syariat tersebut dirumuskan.
Oleh karena itu, pemakalah ingin mencoba menjabarkan tentang Hukum Nikah Tanpa Wali yang berlandaskan  Qaidah Almasaqatu Tajlibu At Taisyir yang merupakan salah satu dari lima asas Qawaid Fiqhiyyah, dengan menggunakan rumusan masalah sebagai berikut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah definisi Qaidah, dan apa saja macam-macam qaidah – qaidah fiqhiyyah ?
2.      Bagaimanakah cabang atau far’un dari qaidah- qaidah fiqhiyyah, serta apakah contoh aplikasi dari kaidah- kaidah fiqhiyyah?
3.      Bagaimanakah Hukum Nikah Tanpa Wali dilihat dari sudut pandang qaidah Al masaqatu Tajlibu At-Taisyir ?


C.     Tujuan
Untuk mengetahui penjelasan mengenai hukum nikah tanpa wali berlandaskan qaidah fiqhiyyah.
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Qaidah Fiqh
Secara estimologi, arti qaidah adalah al-asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya).[1]
Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
ôs% tx6tB šúïÏ%©!$# `ÏB óOÎgÏ=ö7s% tAr'sù ª!$# OßguZ»uŠø^ç/ šÆÏiB ÏÏã#uqs)ø9$# §ysù ãNÍköŽn=tã ß#ø)¡¡9$# `ÏB óOÎgÏ%öqsù ÞOßg9s?r&ur Ü>#xyèø9$# ô`ÏB ß]øym Ÿw tbrããèô±o ÇËÏÈ  
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah Mengadakan makar, Maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.”

adapun secara terminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi, sebagaimana yang di tulis ke dalam berbagai kitab, salah satunya yaitu;
قَضِيَةٌ كُلِيَةٌ مُنْطَبِقٌ عَلَىَ جَمِيْعِ جُزْئِيَا تِهَا
Artinya : “ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian- bagiannya (juz-juznya)” (Kitab At-Ta’rifat :171)[2]

Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
  Sedangkan arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.[3]

B.      Jenis- jenis Al- Qawaid Assasiyyah
Maksud dari Al-qawaid Assasiyyah adalah qaidah- qaidah yang dipegang oleh para imam madzhab. Qaidah tersebut terdiri  atas dua bagian; qaidah- qaidah assasiyyah dan qaidah-qaidah ghair assasiyyah. Di dalam sejumlah kitab Al- qawaid Al-Fiqhiyyah dari berbagai kalangan madzhab disebutkan bahwa qaidah-qaidah fiqhiyyah assasiyah itu ada lima. Kelima kaidah ini disebut qaidah fiqhiyyah yang pokok. Semua ulama merujukan semua masalah fiqih pada kelima kaidah pokok tersebut.
Berikut pengertian, sumber, dasar- dasarnya, cabang, dan aplikasi qaidah-qaidah assasiyyah:
1.      Qaidah Pertama الأُمُورُ بِمَقَا صِدِهَا
a.       Pengertian
Maksud dari qaidah ini adalah “setiap perkara bergantung pada tujuannya”. Dengan kata lain, bahwa setiap mukhallaf dan berbagai bentuknya serta hubungannya, baik dalam ucapannya, perbuatan, dan lainsebagainya bergantung pada niatnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa, niat dan motif yang terkandung dalam hati seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang ia lakukan.[4]
b.      Dasar – dasar qaidah[5]
Sumber pengambilan qaidah ini, antara lain :

!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm
Artinya :
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…”(QS. Al- Bayyinah : 5)
Sabda Nabi Saw :
اِنَّمَاالأَعمَالُ بِالنّيَاتِ وَاِنّمَا لِكُلِّ امرِئٍ مَا نَوَى
Artinya : “Sesungguhnya segala amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati” (HR. Bukhari).

c.       Cabang-cabangnya[6]
1.      Qaidah
مَلاَ يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَتَفْصِيلاً اِذَا عَيَّنَهُ وَاَخْطَاَلَمْ يَضُرُّ
  Artinya:
“Suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global atau terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan (tidak membatalkan).”

2.      Qaidah
وَمَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعَرُّضُ فالخَطَاُ فِيهِ مُبْطِلٌ
Artinya :
“Suatu amal yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan perbuatannya tersebut.”
3.      Qaidah

وَمَا يَحجِبُ التّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَلَيُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْضِيْلًا اِذَا عَيَّنَهُ فَاَخْطَاَضَرٌّ
Artinya :
“Suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak dijelaskan secara terperinci, karena apabila disebutkan secara terperinci dan ternyata salah maka kesalahannya membahayakan.”
4.      Qaidah
النّيَةُ فِى اليَمِينِ تُخَصِّصُ الّفْظَ العَامِ وَلاَ تَعُّمُّالخَصَّ
Artinya :
“niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz umum, dan tidak pula menjadikan umum pada lafadz yang khusus.”
5.      Qaidah
مَقَاصُالَّفْظِ عَلَى نِيَةِ اللاَّفِظِ اِلاَّ فِى مَوْضِعٍ وَاحِدٍ وَهُوَ اليَمِيْنُ عِنْدَ القَاضِ فَاِنَّهَا غَلَى نِيَةِ القَا ضِى
Artinya :
            “ maksud dari suatu lafadz adalah menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat, yatiu dalam sumpah di hadapan hakim.dalam keadaan demikian maksud lafadz menurut niat hakim.”

6.      Qaidah
العِبْرَةُ فِى الُعُقُوْدِ المَقَاصِدُ وَالمَعَانِى لاَ لِلأَ وَالمَعَانِى
Artinya :
            “ Yang dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafadz atau bentuk-bentuk perkataan.”

d.      Contoh Aplikasinya
Di antara contoh aplikasi yang sesuai dengan qaidah-qaidah di atas adalah :
1)      Seseorang yang akan melaksanakan shalat dzuhur, tapi niatnya menunaikan shalat Ashar, maka shalatnya tidak sah.
2)      Seseorang bersumpah (niat) tidak akan berbicara dengan seseorang dan maksudnya dengan Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad saja.

2.      Qaidah أليَقينُ لاَيُزَالُ بِالشَّكِّ
a.       Pengertian
Arti dari qaidah tersebut adalah “keyakinan itu tidak bisa hilang dengan keraguan”. Qaidah ini, secara seksama erat kaitannya dengan masalah aqidah dan persoalan- persoalan dalil hukum dalam syariat islam.
Namun demikian, suatu yang diyakini keberadaannya tidak bisa hilang, kecuali berdasarkan dalil argument yang pasti (qath’i), bukan semata- mata oleh argument yang hanya bernilai saksi/ tidak qath’i. [7]
b.      Dasar –dasar qaidah
Firman Allah dalam surat Yunus, ayat 36 :
$tBur ßìÎ7­Gtƒ óOèdçŽsYø.r& žwÎ) $Zsß 4 ¨bÎ) £`©à9$# Ÿw ÓÍ_øóムz`ÏB Èd,ptø:$# $º«øx© 4
Artinya:
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran…”
Hadis riwayat Muslim :
  وَجَدَاَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيأً فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ اَخرَجَ مِنهُ اَمْ لَا فَلَا يَحرُجَنَّ مِنَ المَسْجِدِ حَتّى يَسْمَعُ صَوْتًا اَويَجِدَ رِيحًا              
Artinya :
“Apabila seseorang di antara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya kemudian sanksi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar masjid sehingga mendapatkan baunya”.

c.       Cabang- cabangnya
1.      Qaidah
الأَصْلُ بَقَاءُمَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ 
Artinya:
            “ Asal itu tetap sebagaimana semula, bagaimanapun keberadaannya.”
2.      Qaidah
الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
Artinya:
            “ Asal itu bebas dari tanggungan”

3.      Qaidah
الأَصْلُ العَدَم
Artinya :
            “ Asal itu tidak ada”
4.      Qaidah
الأَصْلُ فِى كُلِّ حَدِيْثٍ تُقَدِّرُهُ بِاَقْرَبِ الزَّمَانِ
Artinya:
“Asal dalam setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat.”
5.      Qaidah
الأَصْلُ فِى الاَشْيَاءِ الاِبَاحَةُ
Artinya :
            “ Asal dari sesuatu itu adalah kebolehan.”
6.      Qaidah
الأَصْلُ فِى الْاِبَاحَةِ اَلتَّحْرِيْمُ
Artinya :
            “ Asal dari dalam kemubahan adalah keharaman.”
7.      Qaidah
الأَصْلُ فِى الْكَلآمِ اَلحَقِيْقَةُ
Artinya :
            “ Asal dari ucapan adalah hakikat ucapan tersebut.”

d.      Contoh aplikasinya
Di antara contoh aplikasi dari qaidah ini, antara lain :
1). Apabila seseorang telah melakukan shalat ashar, kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah yang lebih yakin, yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam di sunahkan agar sujud sahwi dua kali.
2). Seorang yang dalam perjalanan, kemudian ragu apakah sudah sampai di negerinya atau belum, maka tidak boleh mengambil rukshah.

3.      Qaidah ketiga المَشَقَةُ تَجْلِبُ التّيسِيْرَ
a.       Pengertian
Arti dari qaidah ini adalah “suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan”. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya atau memudharatkan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukhallaf, diringankan sehingga tidak memudharatkan lagi. Keringanan tersebut dalam islam dikenal dengan istilah rukhsah.
b.      Dasar –dasar qaidah
Firman Allah SWT, dalam surah Al- Baqarah ayat 185:
3 ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# 
Artinya :
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”

Hadis yang di terima Abu Hurairah (dalam HR. Bukhari):
الدّينُ يُسرٌ اَحَبُّ الدِّ ينُ اِلَى اللهِ الحَنِيفِيَّةُ السَّمْعَةُ
Artinya :
Agama itu memudahkan, agama yang disenangi oleh Allah SWT adalah agama yang benar dan mudah.”




c.       Cabang – cabangnya
1.      Qaidah
اِذَاضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ وَاِذَااتَّسَعَ الأَمْرُضَاقَ
Artinya ;
            “Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas,  sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit.”
2.      Qaidah
كُلُّ مَتَجَا وَزَحَدُّهُ اِنْعَكَسَ اِلَىضِدِّهِ
Artinya :
            “Semua yang melampaui batas, maka hukumnya berbalik kepada kebalikannya.”
3.      Qaidah
الرَّخْصُ لاَ تُنَاطُ بِالْمَعَا صِى
Artinya :
            “Rukhsah- rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”
4.      Qaidah
الرَّخْصُ لاَتُنَاطُ بِالشَّكِّ
Artinya :
           “Rukhsah itu tidak dapat disangkut pautkan dengan keraguan.”

d.      Contoh aplikasinya
Di antara contoh aplikasi dari qaidah ini adalah :
1). Bolehnya buka puasa ketika bepergian atau ketika sakit.
2). Dibolehkan tidak ada ijab qabul dalam jual barang-barang yang tidak berharga.


4.      Qaidah keempat الضَّرَرُ يُزَالُ
a.       Pengertian
Arti qaidah ini adalah “suatu kerusakan atau kemufsadatan yang dihilangkan”. Dengan kata lain qaidah ini menunjukkan bahwa berbuat kerusakan itu tidak dibolehkan dalam agama islam. Adapun yang berkaitan dengan ketentuan Allah, sehingga kerusakan itu menimpa seseorang, kedudukannya menjadi lain, bahkan bisa dianggap sebagai bagian dari keimanan terhadap qadha dan qadarnya Allah SWT, karena ssegala sesuatu menjadi boleh bagi Allah SWT. Dan dari- Nya-lah kemanfaatan.
b.      Dasar – dasar qaidah
Firman Allah SWT, dalam surat Al- Qashash, ayat 77 :
Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ  
Artinnya :
“…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan…”

Hadis yang diriwayatkan Imam Malik   :
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَمَنْ ضَرَّضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْهِ
Artinya :
“ Tidak boleh memudharatkan dan di mudharatkan, barang siapa yang memudharatkan maka Allah SWT, akan memudharatkannya, dan siapa saja yang menyusahkan, maka Allah akan menyusahkannya”



c.       Cabang- cabangnya
1.      Qaidah
الضَّرُوْرَةُ تُبِيْعُ الْمَحْظُوْرَةِ
Artinya :
            “Kemudharatan membolehkan yang mudharat.”
2.      Qaidah
مَا اُبِيْحُ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَّرِهَا
Artinya :
            “Madharat diperkirakan sewajarnya, atau menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”
3.      Qaidah
الضَّرَرُ لاَيُزَالُ بِالضَّرَرِ
Artinya :
            “kemadharatan tidak bisa dihilangkan dengan kemadharatan lain.”
4.      Qaidah
اِذَا تَعَا رَضَ الْمُفْسِدَتَانِ رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَ ضَرَرًا بِارْتِكَابِ اَخَفِّهِمَا
Artinya :
            “jika ada dua kemudharatan yang bertentangan, maka diambil kemadharatan yang paling besar.”
5.      Qaidah

دَرْءُالْمَفَا سِدِ مُقَدَّ مٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya :
            “Kemafsadatan di dahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”
6.      Qaidah
الحَا جَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةُ الضَّرُورَةِ عَامَّةً كَا نَتْ اَوْخَاصَّةً
Artinya :
            “kebutuhan itu menempati kemadharatan baik secara umum maupun secara khusus.”

d.      Contoh aplikasinya
1). Di bolehkannya memakan daging babi ketika sedang kelaparan, hanya saja tidak boleh sampai kenyang, tapi sekedarnya saja.
2). Tidak boleh membunuh anaknya karena alas an kesulitan ekonomi dan lain-lain.

5.      Qaidah kelima العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
a.       Pengertian
Artinya “suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum”. Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai urf atau adat. Meskipun banyak ulama yang membedakan di antaranya. Namun, menurut kesepakatan jumhur ulama, suatu urf bisa diterima jika memenuhi syarat – syarat berikut :
1.      Tidak bertentangan dengan syari’at
2.      Tidak menyebabkan kemufsadatan dan menghilangkan kemaslahatan
3.      Telah berlaku pada umumnya orang muslim
4.      Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah
5.      Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya
6.      Tidak bertentangn dengan yang diungkapkan dengan jelas



b.      Dasar- dasar qaidah
Firman Allah Swt :
óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ  
Artinya :
”Dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”(QS. Al-A’raf : 199)[8]
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bajjar, dan Ibnu Mas’ud :
مَارَاَهُ المُلِمَونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَاَهُ المُسْلِمُونَ سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيّءٌ
Artinya :
      “Apa yang dipandang baik oleh orang islam, maka menurut Allah pun di golongkan  sebagai perkara yang baik, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang islam, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk”


c.       Cabang – cabangnya
1.      Qaidah
لاَيُنْكَرُ تَغْيِيْرُ الْاَحْكَامِ بِتَغْيِيْرِ الْاَزْمِنَةِ وَالْأَمْكِيْنَةِ
Artinya :
            “Tidak di ingkari perubahan hukum disesabkan perubahan zaman dan tempat.”
2.      Qaidah
المَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
Artinya :
            “Yang baik itu menjadi Urf’, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
3.      Qaidah
الثَّا بِتُ بِالْمَعْرُوْفِ كَا لثَّا بِتِ بِالنّصِّ
Artinya :
Yang ditetapkan melalui Urf sama dengan yang ditetapkan melalui Nash.”
d.      Contoh aplikasinya
Diantara contoh aplikasi qaidah ini, antara lain :
1). Menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan (adat) maka ulama membolehkannya.
2). Orang –orang minangkabau memiliki adat, adat basandi syara’ dan syara basandi adat, sehingga menetapkan bahwa seorang penghulu diharuskan memiliki sifat- sifat Rasulullah Saw.
C.     Hukum Nikah Tanpa Wali
1.   Pengertian Wali/perwalian dalam Pernikahan
Dalam sebuah pernikahan itu  harus ada yang namanya rukun pernikahan.[9]Adapun dari rukun nikah tersebut yaitu ada 5 :
1.      Calon Suami
2.      Calon istri
3.      Wali
4.      Dua orang saksi
5.      Sighat ijab qabul
Semua rukun tersebut harus dipenuhi semua, sendainya salah satu rukun tersebut tidak terpenuhi maka pernikahan itu tidak sah.
Pernikahan adalah amanah Allah SWT. Salah satu masalah yang sering timbul dan menjadi bahan omongan masyarakat ialah bidang kuasa wali.
Rasulullah SAW. bersabda :
لَا نِكَح اِلَا بِوَلِى
 “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali”
Pengertian perwalian dalam arti umum adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wali. Dan wali mempunyai banyak arti, antara lain :

1.      Orang yang menurut hukum (agama,adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim
2.      serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.
3.      Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang mengucapkan janji menikah kepada pengantin laki-laki)
4.      Orang saleh (suci), penyebar agama.
5.      Kepala pemerintah dan lain-lain.

Adapun pengertian yang lain wali berarti teman karib,pemimpin, pelindung, atau penolong yang terdiri dari ahli waris laki-laki yang terdekat kepada pengantin perempuan.[10] Wali adalah salah satu syarat sah nikah maka bukan semua orang boleh menjadi wali. Maka dari itu ada syarat-syarat sah menjadi wali yaitu :
1.      Islam
2.      Baligh
3.      Berakal
4.      Laki-laki
5.      Adil
6.      Merdeka.
Walau orang buta atau bisu jika dia wali maka diharuskan menjadi walli karena boleh menimbang dan memikirkan hal-hal penting kepada wanita, selagi ia bisa memahaminya. Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang paling berhak yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur ulama’ seperti Imam Malik,Imam Syafi’i mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah bukan dari garis ibu.[11] Adapun tertib wali tersebut yaitu :
1.      Ayah
2.      Kakek
3.      Saudara laki-laki seibu sebapak
4.      Saudara laki-laki ayah, paman
5.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak
6.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah
7.      Paman dari bapak
8.      Anak laki-laki dari paman dari bapak
9.      Paman dari kakek
10.  Anak laki-laki dari paman dari kakek
11.  Wali hakim.

Apabila wali pertama tidak ada, hendaklah diambil wali yang kedua, dan jika wali kedua tidak ada hendaklah diambil wali ketiga dan begitu seterusnya mengikuti tertib wali. Dan jika masih ada wali yang terdekat dan hadir pada saat tersebut, perkawinan tidak boleh dilakukan oleh wali yang lebih jauh,kecuali kalau wali aqrab tersebut ada sebab tidak tentu rimbanya, Imam Hanafi berpendapat hak kewaliannya berpindah kepada wali berikutnya. Hal ini ditujukan agar tidak menyebabkan terganggunya perkawinan tersebut. Apabila suatu saat wali aqrab itu datang dia tidak dapat membatalkan perkawinan tersebut, karena keghaibannya dianggap sama dengan ketiadaannya. Adapun Imam Syafi’i berpendapat, keghaiban wali aqrab tidak menyebabkan berpindahnya hak wali kepada urutan berikutnya tetapi justru jatuh pada hakim.[12] Adapun diantara wali yang dominan, yaitu ayah dan kakek.
Dan apabila pengantin perempuan itu tidak mempunyai wali, maka ia akan dinikahkan secara wali hakim.

2.    Kedudukan dan Macam-Macam Wali
1.    Wali Mujbir
Wali mujbir adalah orang yang mempunyai hak paksa atau hak ijbar.[13] Dasar pertimbangan wali mujbir adalah kemaslahatan putrinya yang akan dipaksa. Artinya bahwa seorang wali mujbir harus yakin bahwa jodoh yang dia paksakan itu tidak akan menimbulkan masalah bagi putrinya bahkan akan mendatangkan maslahat bagi putrinya.
Hak ijbar dari Wali mujbir itu bisa gugur karena mempunyai alasan yaitu:     
a.       Tidak ada kesepadanan antara mempelai laki-laki dengan gadis yang dipaksakan  perkawinannya
b.      Adanya pertentangan antara kedua orang yang akan dipaksakan atau adanya perselisihan antara calon mempelai
c.       Adanya perselisihan antar mempelai perempuan dengan wali mujbir dinikahkan.                         
2.    Wali adhal atau wali yang dhalim
Seorang wali yang enggan mengawinkan anaknya, padahal tidak memiliki alasan yang dapat diterima.[14] Siwanita dapat mengajukannya kepada wali hakim. Dengan demikian hak kewaliannya tidak jatuh kepada wali-wali yang urutannya dibawahnya tetapi langsung kepada wali hakim. Jadi wali yang enggan mengawinkan anak di bawah perwalianya tanpa alasan-alasan yang dapat diterima disebut dengan wali adhal atau wali yang dhalim. Hal ini karena pada prinsipnya para wali tidak boleh menghalangi perkawinan anak dibawah perwaliannya tanpa alasan-alasan yang prinsipal, tidak boleh mencegah kalau sesuatunya memang normal, dan tidak boleh menyakiti anak dibawah perwaliannya.[15] 

3.    Wali hakim atau wali raja
Wali hakim adalah sultan atau raja yang beragama islam yang bertindak sebagai wali kepada pengantin perempuan yang tidak mempunyai wali. Tapi karena sultan atau raja sibuk dengan tugas-tugas negara maka ia menyerahkannya kepada pendaftar-pendaftar nikah untuk bertindak sebagai wali hakim.
Wali hakim itu diangkat oleh pemerintah khusus untuk mencatat pendaftaran nikah dan menjadi wali  nikah bagi wanita yang tidak mempunyai atau wanita yang akan menikah itu berselisih paham dengan walinya.
Sebab-sebab menggunakan wali hakim :
•    Tidak ada wali nasab
•    Anak tidak sah taraf atau anak angkat
•    Wali yang ada tidak cukup syarat
•    Wali aqrab menunaikan haji atau umrah
•    Wali enggan
Jadi wali yang enggan menikahkan seseorang perempuan tanpa alasan syara’, maka hak wali itu berpindah kepada wali hakim

4.  Wali berada jauh atau ghoib
Mengikut Madzhab Syafi’i kalau wali aqrab ghaib atau berada jauh dan tidak ada walinya maka yang menjadi wali ialah wali hakim di negerinya, bukan wali ab’ad. Berdasarkan wali yang ghaib atau berada jauh itu pada prinsipnya tetap berhak menjadi wali tetapi karena sukar melaksanakan perwaliannya maka haknya diganti oleh wali hakim.

5. Wakalah wali (wali mewakilkan kepada orang lain)
Apabila seseorang wali aqrab itu berada jauh tidak dapat hadir pada majlis akad nikah atau wali itu boleh hadir tetapi ia tidak mampu untuk menjalankan akad nikah itu.[16] Maka wali itu bolehlah mewakilkan kepada orang lain yang mempunyai kelayakan syar’i. Begitu juga bagi bakal suami. Kalau ia tidak dapat hadir karena sedang belajar diluar negeri, maka ia boleh mewakilkan kepada orang lain yang mempunyai kelayakan syar’i untuk menerima ijab tersebut. Menurut jumhur fuqaha, syarat-syarat sah orang yang boleh menjadi wakil wali yaitu laki-laki, baligh, merdeka, islam, berakal, Tidak menunaikan ihram atau umrah.

3.    Kompilasi hukum islam[17]
Mengenai perwalian ini, kompilasi hukum islam di Indonesia memperinci sebagai berikut :
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1)   Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2)    Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim
Pasal 21
(1)   Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
(2)   Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.[18]
(3)   Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4)   Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1)   Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
(2)   Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Qawaidul fiqhiyah adalah :”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu. Al-qawaid Assasiyyah adalah qaidah- qaidah yang dipegang oleh para imam madzhab. Qaidah tersebut terdiri  atas dua bagian; qaidah- qaidah assasiyyah dan qaidah-qaidah ghair assasiyyah.
Wali dalam pernikahan merupakan salah satu rukun yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan. Apaila wali tersebut tidak terpenuhi maka pernikahan itu tidak sah. Didalam pernikahan yang wajib menggunakan wali adalah dari pihak perempuan. Adapun syarat-syarat dari wali yaitu :
 Islam,Baligh,Berakal,Laki-laki,Adil,Merdeka.
Yang paling pertama kali wajib untuk menjadi wali yaitu dari ayah kandung mempelai putrinya, tapi apabila tidak ada berpindah pada kakeknya, danbegitu seterusnya.
Macam-macam wali :
Wali Mujbir, Wali Adhal, Wali Ghaib, Wali yang diwakilkan/ wakalah wali,Wali Hakim,Wali-wali tersebut mempunyai kedudukan yang berbeda-beda.

SARAN

Mengenai makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mohon ma’af apabila ada kesalah fahaman dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfa’at bagi penulis khususnya, dan pada pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Usman, Muhlish.1997. Kaidah- kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Mughniyah, Muhammad Jawad .2006.Fiqh Lima Madzhab. Jakarta: Penerbit Lentera.
Syafe’I, Rachmat.1998. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : CV. Pustaka Setia.




[1] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CV. Pustaka Setia,1998) h.251
[2] Ibid
[3] http://judul-judulmakalah-kaidah-fiqhiyyah-dan-kaidah-ushuliyah.html, di akses pada tanggal 5 Desember 2013, pukul 13.30
[4] Op.cit., h.274
[5] Muhlish Usman, Kaidah- kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1997), h.108
[6] Op.Cit.,h.276-278
[7] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CV. Pustaka Setia,1998)h.280
[8] Muhlish Usman, Kaidah- kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1997), h.140
[9] Muhammad Jawad Mughniyah Fiqh Lima Madzhab. (Jakarta: Penerbit Lentera 2006). Hal. 103
[10] Ibid,.hal.54
[11] Ibid, hal.78

[12]  Ibid,.hal.86
11 http://puskafi.wordpress.com/2013/11/24/konsep-wali-dalam-pernikahan, diakses pada tanggal 01 Desember 2013 pukul 16.14

[14]  Ibid
[15]  Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18]  Ibid