BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Fiqh dirumuskan sebagai karya intelektual tentang
hukum dengan basis teks-teks keagamaan terutama Al-Qur’an dan Hadist. Rumusan
sistematis ini dan epistimologis tertentu terhadap gugus persoalan
manusia baik dalam urusan personal maupun sosial.
Dalam prosesi pernikahan, aturan normatif yang
mendasari konsep metode dan pelaksanaannya serta dalam institusi hukum syariat
menelurkan butir-butir keputusan yang titik sentralnya bersumber dari Al-Qur’an
dan Hadits. Sebagaimana karakteristik masalah Fiqhiyyah lainnya. Aturan asasi
pernikahan juga menyimpan banyak polemik. Salah satu prasyarat yang sangat
krusial diperdebatkan adalah Eksistensi Perwalian dalam Nikah. Apakah salah
satu elemen yang menentukan keabsahan prosesi nikah?.
Dengan metode perdekatan yang dipakai oleh para
ulama dalam
menganalisa realitas sosial, sejarah pembentukan dan penerapan syariat memang
sangat dipengaruhi kondisi daerah di mana syariat tersebut dirumuskan.
Oleh karena itu, pemakalah ingin mencoba menjabarkan
tentang Hukum Nikah Tanpa Wali yang berlandaskan Qaidah Almasaqatu Tajlibu At Taisyir
yang merupakan salah satu dari lima asas Qawaid Fiqhiyyah, dengan
menggunakan rumusan masalah sebagai berikut.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
definisi Qaidah, dan apa saja macam-macam qaidah – qaidah fiqhiyyah ?
2.
Bagaimanakah
cabang atau far’un dari qaidah- qaidah fiqhiyyah, serta apakah contoh
aplikasi dari kaidah- kaidah fiqhiyyah?
3.
Bagaimanakah
Hukum Nikah Tanpa Wali dilihat dari sudut pandang qaidah Al masaqatu Tajlibu
At-Taisyir ?
C.
Tujuan
Untuk mengetahui penjelasan mengenai hukum nikah tanpa wali
berlandaskan qaidah fiqhiyyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Qaidah Fiqh
Secara estimologi, arti
qaidah adalah al-asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya
sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya).[1]
Ahmad
warson menambahkan
bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun
(peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq
(metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat
26 :
ôs% tx6tB úïÏ%©!$# `ÏB óOÎgÏ=ö7s% tAr'sù ª!$# OßguZ»uø^ç/ ÆÏiB ÏÏã#uqs)ø9$# §ysù ãNÍkön=tã ß#ø)¡¡9$# `ÏB óOÎgÏ%öqsù ÞOßg9s?r&ur Ü>#xyèø9$# ô`ÏB ß]øym w tbrããèô±o ÇËÏÈ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah
Mengadakan makar, Maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya,
lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu
kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.”
adapun secara terminologi, ulama
ushul membuat beberapa definisi, sebagaimana yang di tulis ke dalam berbagai
kitab, salah satunya yaitu;
قَضِيَةٌ
كُلِيَةٌ مُنْطَبِقٌ عَلَىَ جَمِيْعِ جُزْئِيَا تِهَا
Artinya : “ketentuan universal yang
bersesuaian dengan bagian- bagiannya (juz-juznya)” (Kitab
At-Ta’rifat :171)[2]
Sedangkan
mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum
yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh secara etimologi
lebih dekat dengan ilmu, sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang
diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari
semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu
perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian
atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang
itu”.[3]
B.
Jenis- jenis Al-
Qawaid Assasiyyah
Maksud dari Al-qawaid Assasiyyah
adalah qaidah- qaidah yang dipegang oleh para imam madzhab. Qaidah tersebut
terdiri atas dua bagian; qaidah- qaidah assasiyyah
dan qaidah-qaidah ghair assasiyyah. Di dalam sejumlah kitab Al-
qawaid Al-Fiqhiyyah dari berbagai kalangan madzhab disebutkan bahwa
qaidah-qaidah fiqhiyyah assasiyah itu ada lima. Kelima kaidah ini disebut
qaidah fiqhiyyah yang pokok. Semua ulama merujukan semua masalah fiqih pada
kelima kaidah pokok tersebut.
Berikut pengertian, sumber, dasar-
dasarnya, cabang, dan aplikasi qaidah-qaidah assasiyyah:
1. Qaidah Pertama الأُمُورُ بِمَقَا صِدِهَا
a. Pengertian
Maksud dari qaidah ini adalah “setiap perkara bergantung
pada tujuannya”. Dengan kata lain, bahwa setiap mukhallaf dan berbagai
bentuknya serta hubungannya, baik dalam ucapannya, perbuatan, dan
lainsebagainya bergantung pada niatnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa, niat dan
motif yang terkandung dalam hati seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan
menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang ia lakukan.[4]
b. Dasar – dasar qaidah[5]
Sumber
pengambilan qaidah ini, antara lain :
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm
Artinya
:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus…”(QS. Al- Bayyinah : 5)
Sabda
Nabi Saw :
اِنَّمَاالأَعمَالُ بِالنّيَاتِ
وَاِنّمَا لِكُلِّ امرِئٍ مَا نَوَى
Artinya
: “Sesungguhnya segala amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi
seseorang itu hanyalah apa yang ia niati” (HR. Bukhari).
c. Cabang-cabangnya[6]
1. Qaidah
مَلاَ يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ
جُمْلَةً وَتَفْصِيلاً اِذَا عَيَّنَهُ وَاَخْطَاَلَمْ يَضُرُّ
Artinya:
“Suatu amal yang tidak disyaratkan
untuk dijelaskan, baik secara global atau terperinci, bila dipastikan dan
ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan (tidak membatalkan).”
2. Qaidah
وَمَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعَرُّضُ
فالخَطَاُ فِيهِ مُبْطِلٌ
Artinya
:
“Suatu amal yang disyaratkan
penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan perbuatannya tersebut.”
3. Qaidah
وَمَا يَحجِبُ التّعَرُّضُ لَهُ
جُمْلَةً وَلَيُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْضِيْلًا اِذَا عَيَّنَهُ
فَاَخْطَاَضَرٌّ
Artinya
:
“Suatu amal yang harus dijelaskan
secara global dan tidak dijelaskan secara terperinci, karena apabila disebutkan
secara terperinci dan ternyata salah maka kesalahannya membahayakan.”
4. Qaidah
النّيَةُ فِى اليَمِينِ تُخَصِّصُ
الّفْظَ العَامِ وَلاَ تَعُّمُّالخَصَّ
Artinya
:
“niat dalam sumpah mengkhususkan
lafadz umum, dan tidak pula menjadikan umum pada lafadz yang khusus.”
5. Qaidah
مَقَاصُالَّفْظِ عَلَى نِيَةِ
اللاَّفِظِ اِلاَّ فِى مَوْضِعٍ وَاحِدٍ وَهُوَ اليَمِيْنُ عِنْدَ القَاضِ
فَاِنَّهَا غَلَى نِيَةِ القَا ضِى
Artinya
:
“ maksud
dari suatu lafadz adalah menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam
satu tempat, yatiu dalam sumpah di hadapan hakim.dalam keadaan demikian maksud
lafadz menurut niat hakim.”
6. Qaidah
العِبْرَةُ فِى الُعُقُوْدِ
المَقَاصِدُ وَالمَعَانِى لاَ لِلأَ وَالمَعَانِى
Artinya
:
“ Yang
dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafadz atau bentuk-bentuk
perkataan.”
d. Contoh Aplikasinya
Di antara
contoh aplikasi yang sesuai dengan qaidah-qaidah di atas adalah :
1) Seseorang yang akan melaksanakan
shalat dzuhur, tapi niatnya menunaikan shalat Ashar, maka shalatnya tidak sah.
2) Seseorang bersumpah (niat) tidak
akan berbicara dengan seseorang dan maksudnya dengan Ahmad, maka sumpahnya
hanya berlaku pada Ahmad saja.
2. Qaidah أليَقينُ لاَيُزَالُ بِالشَّكِّ
a. Pengertian
Arti dari qaidah tersebut adalah “keyakinan itu tidak
bisa hilang dengan keraguan”. Qaidah ini, secara seksama erat kaitannya
dengan masalah aqidah dan persoalan- persoalan dalil hukum dalam syariat islam.
Namun demikian, suatu yang diyakini keberadaannya tidak bisa
hilang, kecuali berdasarkan dalil argument yang pasti (qath’i), bukan
semata- mata oleh argument yang hanya bernilai saksi/ tidak qath’i. [7]
b. Dasar –dasar qaidah
Firman
Allah dalam surat Yunus, ayat 36 :
$tBur ßìÎ7Gt óOèdçsYø.r& wÎ) $Zsß 4
¨bÎ) £`©à9$# w ÓÍ_øóã z`ÏB Èd,ptø:$# $º«øx© 4
Artinya:
“Dan kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak
sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran…”
Hadis riwayat Muslim :
وَجَدَاَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيأً
فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ اَخرَجَ مِنهُ اَمْ لَا فَلَا يَحرُجَنَّ مِنَ المَسْجِدِ
حَتّى يَسْمَعُ صَوْتًا اَويَجِدَ رِيحًا
Artinya :
“Apabila
seseorang di antara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya kemudian sanksi
apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar
masjid sehingga mendapatkan baunya”.
c. Cabang- cabangnya
1. Qaidah
الأَصْلُ بَقَاءُمَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
Artinya:
“ Asal itu tetap sebagaimana
semula, bagaimanapun keberadaannya.”
2. Qaidah
الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
Artinya:
“ Asal itu bebas dari tanggungan”
3. Qaidah
الأَصْلُ العَدَم
Artinya
:
“ Asal itu tidak ada”
4. Qaidah
الأَصْلُ فِى كُلِّ حَدِيْثٍ
تُقَدِّرُهُ بِاَقْرَبِ الزَّمَانِ
Artinya:
“Asal dalam setiap kejadian, dilihat
dari waktunya yang terdekat.”
5. Qaidah
الأَصْلُ فِى الاَشْيَاءِ الاِبَاحَةُ
Artinya
:
“ Asal dari
sesuatu itu adalah kebolehan.”
6. Qaidah
الأَصْلُ فِى الْاِبَاحَةِ
اَلتَّحْرِيْمُ
Artinya
:
“ Asal dari
dalam kemubahan adalah keharaman.”
7. Qaidah
الأَصْلُ فِى الْكَلآمِ اَلحَقِيْقَةُ
Artinya
:
“ Asal dari
ucapan adalah hakikat ucapan tersebut.”
d. Contoh aplikasinya
Di antara contoh aplikasi dari qaidah ini, antara lain :
1). Apabila seseorang telah
melakukan shalat ashar, kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atau baru
tiga rakaat maka ambillah yang lebih yakin, yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum
salam di sunahkan agar sujud sahwi dua kali.
2). Seorang yang dalam perjalanan,
kemudian ragu apakah sudah sampai di negerinya atau belum, maka tidak boleh
mengambil rukshah.
3. Qaidah ketiga المَشَقَةُ تَجْلِبُ التّيسِيْرَ
a. Pengertian
Arti dari qaidah ini adalah “suatu kesusahan mengharuskan
adanya kemudahan”. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam
pelaksanaannya atau memudharatkan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan,
jiwa, ataupun harta seorang mukhallaf, diringankan sehingga tidak memudharatkan
lagi. Keringanan tersebut dalam islam dikenal dengan istilah rukhsah.
b. Dasar –dasar qaidah
Firman
Allah SWT, dalam surah Al- Baqarah ayat 185:
3… ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# …
Artinya
:
“…Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”
Hadis
yang di terima Abu Hurairah (dalam HR. Bukhari):
الدّينُ يُسرٌ اَحَبُّ الدِّ ينُ اِلَى
اللهِ الحَنِيفِيَّةُ السَّمْعَةُ
Artinya :
“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi oleh Allah
SWT adalah agama yang benar dan mudah.”
c. Cabang – cabangnya
1. Qaidah
اِذَاضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ
وَاِذَااتَّسَعَ الأَمْرُضَاقَ
Artinya ;
“Apabila suatu perkara itu sempit
maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya
jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit.”
2. Qaidah
كُلُّ مَتَجَا وَزَحَدُّهُ اِنْعَكَسَ
اِلَىضِدِّهِ
Artinya :
“Semua yang melampaui batas, maka
hukumnya berbalik kepada kebalikannya.”
3. Qaidah
الرَّخْصُ لاَ تُنَاطُ بِالْمَعَا صِى
Artinya :
“Rukhsah- rukhsah itu tidak boleh
dihubungkan dengan kemaksiatan.”
4. Qaidah
الرَّخْصُ لاَتُنَاطُ بِالشَّكِّ
Artinya :
“Rukhsah itu tidak dapat disangkut
pautkan dengan keraguan.”
d. Contoh aplikasinya
Di antara contoh aplikasi dari qaidah ini adalah :
1). Bolehnya buka puasa ketika bepergian atau ketika sakit.
2). Dibolehkan tidak ada ijab qabul dalam jual barang-barang
yang tidak berharga.
4. Qaidah keempat الضَّرَرُ يُزَالُ
a. Pengertian
Arti qaidah ini adalah “suatu kerusakan atau kemufsadatan
yang dihilangkan”. Dengan kata lain qaidah ini menunjukkan bahwa berbuat
kerusakan itu tidak dibolehkan dalam agama islam. Adapun yang berkaitan dengan
ketentuan Allah, sehingga kerusakan itu menimpa seseorang, kedudukannya menjadi
lain, bahkan bisa dianggap sebagai bagian dari keimanan terhadap qadha dan
qadarnya Allah SWT, karena ssegala sesuatu menjadi boleh bagi Allah SWT. Dan
dari- Nya-lah kemanfaatan.
b. Dasar – dasar qaidah
Firman
Allah SWT, dalam surat Al- Qashash, ayat 77 :
wur Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# (
¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
Artinnya :
“…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan…”
Hadis
yang diriwayatkan Imam Malik :
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَمَنْ
ضَرَّضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْهِ
Artinya
:
“ Tidak boleh memudharatkan dan di mudharatkan, barang siapa
yang memudharatkan maka Allah SWT, akan memudharatkannya, dan siapa saja yang
menyusahkan, maka Allah akan menyusahkannya”
c. Cabang- cabangnya
1. Qaidah
الضَّرُوْرَةُ
تُبِيْعُ الْمَحْظُوْرَةِ
Artinya :
“Kemudharatan membolehkan yang
mudharat.”
2. Qaidah
مَا
اُبِيْحُ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَّرِهَا
Artinya :
“Madharat diperkirakan
sewajarnya, atau menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”
3. Qaidah
الضَّرَرُ
لاَيُزَالُ بِالضَّرَرِ
Artinya :
“kemadharatan tidak bisa
dihilangkan dengan kemadharatan lain.”
4. Qaidah
اِذَا تَعَا رَضَ الْمُفْسِدَتَانِ
رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَ ضَرَرًا بِارْتِكَابِ اَخَفِّهِمَا
Artinya :
“jika ada dua kemudharatan yang
bertentangan, maka diambil kemadharatan yang paling besar.”
5. Qaidah
دَرْءُالْمَفَا
سِدِ مُقَدَّ مٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya :
“Kemafsadatan di dahulukan
daripada mengambil kemaslahatan.”
6. Qaidah
الحَا
جَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةُ الضَّرُورَةِ عَامَّةً كَا نَتْ اَوْخَاصَّةً
Artinya
:
“kebutuhan
itu menempati kemadharatan baik secara umum maupun secara khusus.”
d. Contoh aplikasinya
1). Di bolehkannya memakan daging
babi ketika sedang kelaparan, hanya saja tidak boleh sampai kenyang, tapi
sekedarnya saja.
2). Tidak boleh membunuh anaknya
karena alas an kesulitan ekonomi dan lain-lain.
5. Qaidah kelima العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
a. Pengertian
Artinya “suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum”.
Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai urf atau adat. Meskipun
banyak ulama yang membedakan di antaranya. Namun, menurut kesepakatan jumhur
ulama, suatu urf bisa diterima jika memenuhi syarat – syarat berikut :
1. Tidak bertentangan dengan syari’at
2. Tidak menyebabkan kemufsadatan dan
menghilangkan kemaslahatan
3. Telah berlaku pada umumnya orang
muslim
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika
akan ditetapkan hukumnya
6. Tidak bertentangn dengan yang
diungkapkan dengan jelas
b. Dasar- dasar qaidah
Firman
Allah Swt :
óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
Artinya
:
”Dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”(QS. Al-A’raf : 199)[8]
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bajjar, dan Ibnu
Mas’ud :
مَارَاَهُ المُلِمَونَ حَسَنًا فَهُوَ
عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَاَهُ المُسْلِمُونَ سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ
سَيّءٌ
Artinya :
“Apa yang dipandang baik oleh orang
islam, maka menurut Allah pun di golongkan
sebagai perkara yang baik, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang
islam, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk”
c. Cabang – cabangnya
1. Qaidah
لاَيُنْكَرُ تَغْيِيْرُ الْاَحْكَامِ
بِتَغْيِيْرِ الْاَزْمِنَةِ وَالْأَمْكِيْنَةِ
Artinya :
“Tidak di ingkari perubahan hukum
disesabkan perubahan zaman dan tempat.”
2. Qaidah
المَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوْطِ
شَرْطًا
Artinya :
“Yang baik itu menjadi Urf’,
sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
3. Qaidah
الثَّا بِتُ بِالْمَعْرُوْفِ كَا
لثَّا بِتِ بِالنّصِّ
Artinya :
“Yang ditetapkan melalui Urf sama dengan yang ditetapkan
melalui Nash.”
d. Contoh aplikasinya
Diantara contoh aplikasi qaidah ini, antara lain :
1). Menjual
buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas jumlahnya,
tapi karena sudah menjadi kebiasaan (adat) maka ulama membolehkannya.
2). Orang
–orang minangkabau memiliki adat, adat basandi syara’ dan syara
basandi adat, sehingga menetapkan bahwa seorang penghulu diharuskan
memiliki sifat- sifat Rasulullah Saw.
C.
Hukum Nikah Tanpa Wali
1.
Pengertian Wali/perwalian dalam Pernikahan
Dalam sebuah pernikahan itu
harus ada yang namanya rukun pernikahan.[9]Adapun
dari rukun nikah tersebut yaitu ada 5 :
1. Calon
Suami
2.
Calon istri
3.
Wali
4. Dua
orang saksi
5.
Sighat ijab qabul
Semua rukun tersebut harus dipenuhi
semua, sendainya salah satu rukun tersebut tidak terpenuhi maka pernikahan itu
tidak sah.
Pernikahan adalah amanah Allah SWT.
Salah satu masalah yang sering timbul dan menjadi bahan omongan masyarakat
ialah bidang kuasa wali.
Rasulullah SAW. bersabda :
لَا نِكَح اِلَا بِوَلِى
“Tidak ada nikah kecuali dengan
adanya wali”
Pengertian perwalian dalam arti umum
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wali. Dan wali mempunyai banyak
arti, antara lain :
1. Orang yang menurut hukum (agama,adat) diserahi
kewajiban mengurus anak yatim
2.
serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.
3. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu
menikah (yaitu yang mengucapkan janji menikah kepada pengantin laki-laki)
4.
Orang saleh (suci), penyebar agama.
5.
Kepala pemerintah dan lain-lain.
Adapun pengertian yang lain wali
berarti teman karib,pemimpin, pelindung, atau penolong yang terdiri dari ahli
waris laki-laki yang terdekat kepada pengantin perempuan.[10] Wali
adalah salah satu syarat sah nikah maka bukan semua orang boleh menjadi wali.
Maka dari itu ada syarat-syarat sah menjadi wali yaitu :
1.
Islam
2.
Baligh
3.
Berakal
4.
Laki-laki
5.
Adil
6.
Merdeka.
Walau orang buta atau bisu jika dia
wali maka diharuskan menjadi walli karena boleh menimbang dan memikirkan
hal-hal penting kepada wanita, selagi ia bisa memahaminya. Wali ditunjuk
berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang paling berhak
yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur ulama’
seperti Imam Malik,Imam Syafi’i mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan
diambil dari garis ayah bukan dari garis ibu.[11]
Adapun tertib wali tersebut yaitu :
1.
Ayah
2.
Kakek
3.
Saudara laki-laki seibu sebapak
4.
Saudara laki-laki ayah, paman
5.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak
6.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah
7.
Paman dari bapak
8.
Anak laki-laki dari paman dari bapak
9.
Paman dari kakek
10. Anak laki-laki dari paman
dari kakek
11. Wali hakim.
Apabila wali pertama tidak ada,
hendaklah diambil wali yang kedua, dan jika wali kedua tidak ada hendaklah
diambil wali ketiga dan begitu seterusnya mengikuti tertib wali. Dan jika masih
ada wali yang terdekat dan hadir pada saat tersebut, perkawinan tidak boleh
dilakukan oleh wali yang lebih jauh,kecuali kalau wali aqrab tersebut ada sebab
tidak tentu rimbanya, Imam Hanafi berpendapat hak kewaliannya berpindah kepada
wali berikutnya. Hal ini ditujukan agar tidak menyebabkan terganggunya
perkawinan tersebut. Apabila suatu saat wali aqrab itu datang dia tidak dapat
membatalkan perkawinan tersebut, karena keghaibannya dianggap sama dengan
ketiadaannya. Adapun Imam Syafi’i berpendapat, keghaiban wali aqrab tidak
menyebabkan berpindahnya hak wali kepada urutan berikutnya tetapi justru jatuh
pada hakim.[12]
Adapun diantara wali yang dominan, yaitu ayah dan kakek.
Dan apabila pengantin perempuan itu
tidak mempunyai wali, maka ia akan dinikahkan secara wali hakim.
2.
Kedudukan dan Macam-Macam Wali
1.
Wali Mujbir
Wali mujbir adalah orang yang
mempunyai hak paksa atau hak ijbar.[13]
Dasar pertimbangan wali mujbir adalah kemaslahatan putrinya yang akan dipaksa.
Artinya bahwa seorang wali mujbir harus yakin bahwa jodoh yang dia paksakan itu
tidak akan menimbulkan masalah bagi putrinya bahkan akan mendatangkan maslahat
bagi putrinya.
Hak ijbar dari Wali mujbir itu bisa
gugur karena mempunyai alasan yaitu:
a. Tidak ada kesepadanan antara
mempelai laki-laki dengan gadis yang dipaksakan
perkawinannya
b. Adanya pertentangan antara kedua
orang yang akan dipaksakan atau adanya perselisihan antara calon mempelai
c.
Adanya perselisihan antar mempelai perempuan dengan wali mujbir dinikahkan.
2.
Wali adhal atau wali yang dhalim
Seorang wali yang enggan mengawinkan
anaknya, padahal tidak memiliki alasan yang dapat diterima.[14]
Siwanita dapat mengajukannya kepada wali hakim. Dengan demikian hak kewaliannya
tidak jatuh kepada wali-wali yang urutannya dibawahnya tetapi langsung kepada
wali hakim. Jadi wali yang enggan mengawinkan anak di bawah perwalianya tanpa
alasan-alasan yang dapat diterima disebut dengan wali adhal atau wali yang
dhalim. Hal ini karena pada prinsipnya para wali tidak boleh menghalangi
perkawinan anak dibawah perwaliannya tanpa alasan-alasan yang prinsipal, tidak
boleh mencegah kalau sesuatunya memang normal, dan tidak boleh menyakiti anak
dibawah perwaliannya.[15]
3. Wali hakim atau
wali raja
Wali hakim adalah sultan atau raja
yang beragama islam yang bertindak sebagai wali kepada pengantin perempuan yang
tidak mempunyai wali. Tapi karena sultan atau raja sibuk dengan tugas-tugas
negara maka ia menyerahkannya kepada pendaftar-pendaftar nikah untuk bertindak
sebagai wali hakim.
Wali hakim itu
diangkat oleh pemerintah khusus untuk mencatat pendaftaran nikah dan menjadi
wali nikah bagi wanita yang tidak mempunyai atau wanita yang akan menikah
itu berselisih paham dengan walinya.
Sebab-sebab menggunakan wali hakim :
• Tidak ada wali
nasab
• Anak tidak sah
taraf atau anak angkat
• Wali yang ada
tidak cukup syarat
• Wali aqrab
menunaikan haji atau umrah
• Wali enggan
Jadi wali yang enggan menikahkan seseorang
perempuan tanpa alasan syara’, maka hak wali itu berpindah kepada wali
hakim
4. Wali
berada jauh atau ghoib
Mengikut Madzhab Syafi’i kalau wali aqrab
ghaib atau berada
jauh dan tidak ada walinya maka yang menjadi wali ialah wali hakim di
negerinya, bukan wali ab’ad. Berdasarkan wali yang ghaib atau berada
jauh itu pada prinsipnya tetap berhak menjadi wali tetapi karena sukar
melaksanakan perwaliannya maka haknya diganti oleh wali hakim.
5. Wakalah
wali (wali mewakilkan kepada orang lain)
Apabila seseorang wali aqrab itu
berada jauh tidak dapat hadir pada majlis akad nikah atau wali itu boleh hadir
tetapi ia tidak mampu untuk menjalankan akad nikah itu.[16]
Maka wali itu bolehlah mewakilkan kepada orang lain yang mempunyai kelayakan
syar’i. Begitu juga bagi bakal suami. Kalau ia tidak dapat hadir karena sedang
belajar diluar negeri, maka ia boleh mewakilkan kepada orang lain yang
mempunyai kelayakan syar’i untuk menerima ijab tersebut. Menurut jumhur fuqaha, syarat-syarat
sah orang yang boleh menjadi wakil wali yaitu laki-laki, baligh, merdeka,
islam, berakal, Tidak menunaikan ihram atau umrah.
3.
Kompilasi hukum islam[17]
Mengenai perwalian ini, kompilasi
hukum islam di Indonesia memperinci sebagai berikut :
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal
19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi
bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak
sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b.
wali hakim
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri
dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari
kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon
mempelai.
(2) Apabila dalam satu
kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali,
maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat
kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.[18]
(3) Apabila dalam satu
kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali
nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu
kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau
sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah
dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak
memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita
tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada
wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru
dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak
mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau
adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal
atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada
putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Qawaidul fiqhiyah adalah :”Suatu
perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian
atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang
itu. Al-qawaid Assasiyyah adalah qaidah- qaidah yang dipegang
oleh para imam madzhab. Qaidah tersebut terdiri
atas dua bagian; qaidah- qaidah assasiyyah dan qaidah-qaidah ghair
assasiyyah.
Wali dalam pernikahan merupakan
salah satu rukun yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan. Apaila wali
tersebut tidak terpenuhi maka pernikahan itu tidak sah. Didalam pernikahan yang
wajib menggunakan wali adalah dari pihak perempuan. Adapun syarat-syarat dari
wali yaitu :
Islam,Baligh,Berakal,Laki-laki,Adil,Merdeka.
Yang paling pertama kali wajib untuk
menjadi wali yaitu dari ayah kandung mempelai putrinya, tapi apabila tidak ada
berpindah pada kakeknya, danbegitu seterusnya.
Macam-macam wali :
Wali Mujbir, Wali Adhal, Wali Ghaib,
Wali yang diwakilkan/ wakalah wali,Wali Hakim,Wali-wali tersebut mempunyai
kedudukan yang berbeda-beda.
SARAN
Mengenai makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
penulis mohon ma’af apabila ada kesalah fahaman dalam penyusunan makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat bermanfa’at bagi penulis khususnya, dan pada pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Usman,
Muhlish.1997. Kaidah- kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Pedoman Dasar Dalam
Istinbath Hukum Islam.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Mughniyah, Muhammad
Jawad .2006.Fiqh Lima Madzhab. Jakarta: Penerbit Lentera.
Syafe’I,
Rachmat.1998. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : CV. Pustaka Setia.
[1]
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CV. Pustaka Setia,1998) h.251
[2]
Ibid
[3]
http://judul-judulmakalah-kaidah-fiqhiyyah-dan-kaidah-ushuliyah.html,
di akses pada tanggal 5 Desember 2013, pukul 13.30
[4]
Op.cit., h.274
[5]
Muhlish Usman, Kaidah- kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Pedoman Dasar Dalam
Istinbath Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1997), h.108
[6]
Op.Cit.,h.276-278
[7]
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CV. Pustaka
Setia,1998)h.280
[8]
Muhlish Usman, Kaidah- kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Pedoman Dasar Dalam
Istinbath Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1997), h.140
11 http://puskafi.wordpress.com/2013/11/24/konsep-wali-dalam-pernikahan, diakses pada tanggal 01 Desember 2013 pukul 16.14
[14]
Ibid
[15] Ibid
[16]
Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid