BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam sebagai ajaran menjadi sebuah topik yang menarik untuk
dikaji, baik oleh kalangan intelektual muslim sendiri maupun para orientalis
atau sarjana- sarjana barat. Diantaranya, munculnya gagasan sekularisme yang
dikembangkan oleh peradaban barat membawa dampak yang tidak baik terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan bagi umat islam. Sekularisasi yang memisahkan
nilai- nilai agama dari kehidupan manusia, tidak hanya bertentangan dengan
fitrah manusia.
Karena itu, dari kalangan intelektual muslim khawatir terjadinya
pengaruh yang tidak baik dari para orientalis itu terlalu jauh bagi umat islam.
Sehingga muncullah adanya konsep atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang merupakan konsep yang di dalamnya
terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemologi) dan konsep
Tuhan (theology), Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental
tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh
sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Dalam umat islam timbul 3 sikap
dalam menghadapi ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu;
(1) sikap yang dirasakan bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari barat sebagai
ilmu pengetahuan sekular. Dalam membawa kemajuan islam maka ilmu itu harus
berdasarkan Alquran dan Al-sunnah. (2) ilmu pengetahuan dari barat diterima
sebagai ilmu pengetahuan yang netral. (3) sikap yang didasarkan pada asumsi
bahwa ilmu pengetahuan barat itu sekular dan materialisme[1].
Keadaan ini menimbulkan kegelisahan beberapa pakar ilmuan islam, sehingga
muncullah ide untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan pada abad 20M,
Islamisasi merupakan sebuah karakter dan identitas Islam sebagai pandangan
hidup yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu dan
konsep Tuhan. Karena itu, pemakalah akan membahas makalah dengan judul
islamisasi ilmu pengetahuan dengan rumusan masalah sebagai berikut.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
definsi konsep islamisasi ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana sejarah dan siapa tokoh islamisasi
ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana
implikasi islamisasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan?
C. Tujuan
Untuk mengetahui bagaimanakah
pengertian mengenai konsep islamisasi ilmu pengetahuan, sejarah, tokoh ,
bagaimana implikasinya dalam pendidikan di masa sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
1.
Telaah
Ontologis
Islamisasi
berasal dari kata Islamization yang berarti peng-Islaman. Islamisasi merupakan salah satu istilah yang paling
popular dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmun agama dan ilmu-ilmu umum.
Islamisasi Ilmu
Pengetahuan menurut al-Attas adalah pembebasan manusia dari tradisi magis,
mitologis, animistis, kultur nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan
belenggu paham sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab
manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang
sebenarnya dan berbuat tidak adil terhadapnya. Sedangkan al-Faruqi berpendapat
bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah usaha untuk mendefenisi kembali,
menyusun ulang data, memikirkan kembali argument dan rasionalisasi yang
berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran,
memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa
sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi
cita-cita.[2]
Secara
ontologis, Islamisasi Ilmu Pengetahuan memandang bahwa dalam relitas alam semesta, sosial dan
historis ada hukum-hukum yang mengatur. Pandangan akan adanya hukum alam
tersebut sama dengan kaum sekuler tetapi dalam pandangan Islam hukum tersebut
adalah ciptaan Allah[3]
Dengan perintah
yang sangat singkat ini, manusia dapat menentukan objek ilmu untuk dipelajari
yang tiada akhirnya. Dalam konteks ini untuk memahami nilai-nilai kewahyuan,
ummat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realitasnya saat ini,
ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan ummat
manusia. Dengan demikian dapat dipahami untuk mengulang kembali kesuksesan yang
pernah diraih di masa silam, Islamisasi Ilmu Pengetahuan harus tetap
digalakkan.[4]
2.
Telaah
Epistemologis
Epistemologi
adalah ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan bagaimana cara memperolehnya.
Sehingga dapat dipahami bahwa epistemology mempersoalkan metodologi penerapan
ilmu pengetahuan, dalam hal ini proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Al-Qur’an
merupakan kitab yang sangat sempurna dalam menjelaskan metode pengembangan
ilmu. Misalnya perlu mengingat dan menghafal tersirat dalam QS al-Baqarah (2) :
31
وَعَلَّمَ
آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ
أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar.
Di samping
perlu mengingat dan menghafal di atas, diperlukan juga metode observasi,
eksperimen, demonstrative dan metode intuitif[5]. Hal ini misalnya ketika Allah Swt
memperlihatkan kepada Qabil dengan mengirimkan burung gagak menggali tanah
untuk menguburkan burung yang mati. Dalam pengembangan ilmu dan teknologi,
observasi dan meniru kerja ciptaan-Nya merupakan yang lazim misalnya meniru
konsep fungsi sayap dan ekor dalam pesawat terbang. Selain observasi yang
merupakan landasan pengkajian ilmu pengetahuan semata juga dibutuhkan kemampuan
imajinasi, analisa dan sintesa terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
susah untuk dijawab melalui observasi laboratorium.
Sebagai contoh
QS al-Ghasyiyah (88): 17-20:
أَفَلَا يَنْظُرُونَ
إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ
(18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ
سُطِحَتْ
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta
bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan
gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?.
Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?.
Untuk menjawab
pertanyaan di atas tidak bisa dengan observasi atau eksperimen saja, melainkan
diperlukan hipotesa yang membutuhkan proses berfikir dan berimajinasi yang
intens. Dalam al-Qur’an disampaikan bahwa masih ada proses pengembangan ilmu
dan teknologi yang lebih hakiki yaitu ilham yang diberikan kepada beberapa
orang.[6]
Dari keterangan
di atas memberikan gambaran kepada ummat Islam untuk melihat sisi lain yang
juga menunjang keberhasilan Islam dalam menemukan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan. Dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan mengalami proses yang panjang
tentang transformasi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke dunia Barat dalam
hubungan timbal balik, baik itu dalam bentuk kajian, penafsiran maupun dalam
bentuk penerjemahan.
Kondisi
tersebut di atas dapat memungkinkan terjadi karena di dalam al-qur’an sendiri
terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang berbagai macam disiplin ilmu,
diantaranya:
a.
Yang
berhubungan dengan pengetahuan alam terdapat dalam QS Saba’(34) : 10 dan QS
al-Hadid (57) : 25.
b.
Yang
berhubungan dengan geografi terdapat dalam QS al-Baqarah (2) : 22 dan QS ar-Rad
(13) :3’.
c.
Yang
berhubungan dengan kesehatan terdapat dalam QS al-Baqarah
(2) :184 dan 222, al Mudatsir (74) : 74, al-Maidah (5) : 6, an-Nisa (4) : 43
dan al-A’raf (7) : 31.
d.
Yang
berhubungan dengan sejarah terdapat dalam QS Yusuf (12) : 109, al-Ashr (103) :
2, Maryam (19) : 2-15, al-Maidah (5) : 110-120 dan al-Baqarah (2) : 30-39.
e.
Yang
berhubungan dengan matematika terdapat dalam QS al-Isra’ (17) : 12 dan 14 serta
al-Muzammil (73) : 20
f.
Yang
berhubungan dengan ekonomi terdapat dalam QS al-Baqarah (2) : 29, al-Mulk (67)
: 15, an-Naba’ (78) : 9-11 dan ad-Dhuha (93) : 6-8.[7]
Dari keaneka
ragaman disiplin ilmu di masing-masing bidang dapat diperlihatkan di dunia
Barat, maka dalam hal ini Juhaya S Praja mengemukakan pendapatnya bahwa upaya
Islammisasi telah menunjukkan hasilnya di Barat. Menurutnya ini adalah gejala
aneh, mengapa tidak lahir di dunia Islam?. Alasannya mungkin karena sarjana
Muslim yang hidup di dunia Barat menghadapi langsung tantangan dunia nyata
terhadap Islam dan ummatnya.[8]
Hal tersebut
menunjukkan bahwa Islam memberikan peluang terjadinya proses Islamisasi Ilmu
Pengetahuan , meskipun tidak dimulai dari tanah kelahirannya. Sehingga dengan
epistemology dapat dijelaskan bagaimana sebuah ilmu pengetahuan disusun
menggunakan kajian ijtihadiyah dengan langkah-langkah yang telah teruji seperti
mengingat, menghafal, observasi, eksperimen, demonstrative, metode intuitif,
mengkaji, imajinasi, analisa dan sintesa serta adanya ilham.
3.
Telaah
Aksiologis
Istilah
Islamisasi Ilmu Pengetahuan sering dipandang sekelompok pemikir hanya sebagai
proses penerapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria
suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkan. Konsekuensi dari
epistemology Islamisasi Ilmu Pengetahuan,
maka aksiologinya yaitu mengandung nilai rohaniah atau moral yang bersumber
dari agama (Islam) sifatnya adalah absolute dan kebenarannya bersifat permanen.
Hal ini karena bersumber dari Dzat yang absolute (mutlak) yaitu Allah Swt.
Telaah
aksiologi sasarannya adalah manfaat dari hasil kajian yang dijadikan bahasan
materi, dengan artian bahwa aksiologidiartikan nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dalam hubungannya dengan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan, dapat dikatakan bahwa dengan Islamisasi dapat diketahui dengan
jelas kalau Islam bukan hanya mengatur segi-segi ritualitas dalam arti shalat,
puasa, zakat dan haji saja, melainkan sebuah ajaran yang mengintegrasikan
segi-segi kehidupan duniawi termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain beberapa
hal di atas, juga muncul para filosof dan cendikiawan muslim tidak lain oleh
karena mereka bukan hanya menguasai ilmu-ilmu Islam saja tetapi juga menguasai
ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Dengan ilmu, mereka dapat mempelajari gejala
alam dan menciptakan peralatan untuk mengontrol gejala-gejala alam sesuai
dengan hukumnya.[9]
B. SEJARAH
ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Pandangan Islam terhadap ilmu menjadi landasan
bagi pengembangan ilmu disepanjang sejarah kehidupan ummat Islam, sejak dari
zaman klasik sampai sekarang. Sejak kelahirannya, Islam sudah memberikan
penghargaan yang begitu besar terhadap ilmu dan menawarkan cahaya untuk
mengubah jahiliyah menuju masyarakat yang berilmu dan beradab.
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya
telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini.
Ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi saw secara jelas menegaskan semangat
Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yaitu ketika Allah menekankan bahwa Dia adalah
sumber dan asal ilmu manusia.
Pada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa
pemerintahan Daulah Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut secara
besar-besaran dengan dilakukannya penerjemahan terhadap karya-karya dari Persia
dan Yunani. Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah
hadirnya karya Imam al-Ghazali Tahafut al-Falasifah. Hal yang demikian walaupun
tidak menggunakan pelabelan Islamisasi, tetapi aktivitas yang sudah mereka
lakukan semisal dengan makna Islamisasi.[10]
Secara historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan
muncul pada saat diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang
pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang
diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah
yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi
untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang
diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang
direkomendasikan adalah menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan ini
antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam makal ahnya
yang berjudul “ Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and
the Definition and the Aims of Education, dan Ismail Raji al- Faruqi dalam
makalahnya “Islamicizing social science.[11]
Dari
kedua makalah ini kemudian gagasan tentang islamisasi ilmu pengetahuan menjadi
tersebar luas ke masyarakat muslim dunia. Pihak pro maupun kontra-pun
bermunculan. Diantara tokoh yang mendukung “pro” terhadap proyek islamisasi
tersebut antara lain adalah Seyyed Hossein Nasr (1933), Ziauddin Sardar (1951)
dan beberapa tokoh lain yang menolak adanya westernisasi ilmu. Sedangkan pihak yang menentang “kontra”
terhadap gagasan islamisasi ini yaitu beberapa pemikir muslim kontemporer
seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan
Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak akan tetapi juga mengkritik gagasan
islamisasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana Fazlur Rahman, misalnya, dia
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang
salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam penggunaannya. Menurut
Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas. Dia kemudian
mencontohkan seperti halnya “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati
dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar
ketika memperolehnya.
C. PRINSIP DAN
TUJUAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Al-Attas
menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep
asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a.
Konsep Agama (ad-din)
b.
Konsep Manusia (al-insan)
c.
Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d.
Konsep kearifan (al-hikmah)
e.
Konsep keadilan (al-‘adl)
f.
Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
Al-Faruqi
menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran
metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan
Allah.
b. Kesatuan
alam semesta.
Menurut
al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak bertentangan tetapi
saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun,
kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari
Allah dan akal juga merupakan pemberian dari Allah yang diciptakan untuk
mencari kebenaran. Syarat-syarat kesatuan kebenaran menurut al-Faruqi yaitu: pertama,
kesatuan kebenaran tidak boleh bertentangan dengan realitas sebab wahyu
merupakan firman dari Allah yang pasti cocok dengan realitas. Kedua,
kesatuan kebenaran yang dirumuskan, antara wahyu dan kebenaran tidak boleh ada
pertentangan, prinsip ini bersifat mutlak. Dan ketiga, kesatuan kebenaran
sifatnya tidak terbatas dan tidak ada akhir. Karena pola dari Allah tidak
terhingga, oleh karena itu diperlukan sifat yang terbuka terhadap segala
sesuatu yang baru.
e. Kesatuan
umat manusia.
Islam
menganjurkan kebebasan dalam hubungannya dengan kemanusiaan tanpa batas-batas
yang senantiasa menghampiri mereka. Dalam konteks ilmu pengetahuan, nampak
bahwa keinginan al-Faruqi, ilmuwan beserta penemuannya, hendaknya memberi
kesejahteraan kepada umat manusia tanpa memandang etnis. Ketaqwaan yang
dipergunakan oleh Islam yang membebaskan dari belenggu himpitan dunia hendaknya
menjadi landasan bagi para ilmuan.[12]
Tujuan
Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah
tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan
untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan
pribadi muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi
ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman. Adapun yang menjadi obyek Islamisasi
bukan obyek yang berada diluar pikiran tapi adalah yang terdapat dalam jiwa
atau pikiran seseorang. Dan pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang
berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah
terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason),
pengalaman (experience) dan intuisi (intuition). Karena Islam pada dasarnya
mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan
tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang sesuatu yang tidak dapat
dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek
rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam Islam memiliki beberapa
kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara mendasar dibedakan oleh
pandangan hidup Islam (Islamic worldview).[13]
D.REALISASI
ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Penyebutan
islamisasi ilmu pengetahuan, sebagaimana dikemukakan dalam Rahardjo biasanya
terkait dengan nama Ismail Faruqi, seorang sarjana kelahiran Palestina yang
kini bermukim di Amerika Serikat. Ia dianggap sebagai pencetus utama gagasan
ini, yang diikuti dengan pendirian sebuah lembaga penelitian international
institute of Islamic thought atau yang lebih dikenal singakatannya III-T yang
berkantor pusat, mula-mula di Philadelphia, tapi kemudian pindah ke Herdon,
Virginia, satu jam perjalanan mobil dari Washington DC. Tapi orang Malaysia
tidak menganggapnya demikian. Mereka mengatakan bahwa ide islamisasi pengetahuan
itu adalah seorang sarjana ahli budaya Melayu berkebangsaan Malaysia, Naquib
Alatas, adik kandung Husain Alatas. Tapi ide itu “dicuri” oleh Ismail Faruqi.
NAquib Alatas sendiri , dengan dukungan Perdana Menteri Malaysia ketika itu,
Anwar Ibrahim, membentuk lembaga sendiri dengan nama International Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC) yang berbasis di Kuala Lumpur dengan
gedung dan kompleknya yang megah dan artistic, di atas bukit visi dan misi
kedua lembaga itu agaknya sama. Keduanya tidak hanya melakukan kajian dan
penelitian, tetapi juga pendidikan dalam rangka desseminasi.
Lebih lanjut
Dawam Rahardjo melhat bahwa secara substansial gagasan islamisasi ilmu
pengetahuan dari Ismail Faruqi dan Naquib Alatas. Substansi pemikiran disekitar
pendektan baru terhadap pengetahuan dan realitas kaum muslim itu sendiri dapat
dilacak sejak Shah wali Allah dan juga Sir. Sayid Akhmad Khan pada abad ke-18
yang mendirikan universitas Aligarh pada abad ke-19, kedudukannya di India.
Yang Shah Wali Allah memelopori kebangkitan pemikiran dan pengetahuan yang
berorientasi pada islam dan sekaligus bersifat modern. Keduanya merupakan
perulangan gejala yang meninjau pendekatan terhadap pengetahuan dan relitas
dalam kerangka islam, yang mengalami reaktivasi ketiga cendekiawan muslim.
Model
kebangkitan pemikiran tersebut diikuti di Mesir dengan tampilnya pemikir
social, Muhammad Abduh dan Rashid Ridha, yang di Indonesia menimbulkan gerakan
Muhammadiyah. Gerakan pemikiran itu semakin kuat posisinya ketika bias memasuki
universitas Al- Azhar di Kairo.
Gejala serupa
berulaang pada masa kelahiran IIIT di Amerika. IIIT adalah juga tipe gerakan
pemikiran. Yang berbeda dengan gerakan-gerakan yang telah ada adalah, bahwa
IIIT lahir justeru di Negara barat sendiri khususnya AS, pusat peradaban modern
barat dewasa ini. Corak IIIT bisa lebih dikenali dari perjalannan hidup dan
biografi intelektual pendirinya, Ismail Faruqi. Menurut Dawam Rahardjo bahwa
pemikiran Faruqi tentang islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya terfokus paada
dua bidang studi. Pertama, adalah Arabisme, mungkin karena pengaruh darah Palestinanya.
Kedua, adalah islam.
Sejak itu ia
mulai terjerat oleh aktivisme yang menjadi gerakan islam. Ia tidak hanya
bergerak dalam wacana ilmiah dan akademisi tetapi juga melakukan Advokasi
politik. Pandangannya makin bergeser dalam melihat peranan penting islam.
Sungguhpun ia
orang Palestina, namun ia cukup luas memasuki kehidupan barat sebagai seorang
islamis, ia mampu memepresentasikan islam dalam kategori- kategori barat. Ia
berhasil membuat islam lebiih dapat dipahami dan dihargai di lingkungan barat.
Sebagaimana para reformer pendahulunya, ia mempresentasikan islam sebagai agama
nalar, ilmiah dan maju secara par excellent, dengan titik berat
pada aksi dan etika kerja. Bagi Al faruqi islam merupakan ide kemasyarakatan
dan kebudayaan atau peradaban (civilization) dalam nomenklatur islam Indonesia,
daripada sebagai ideology politik yang diwujudkan dalam konsep Negara islam
(Islamic State) sebagaimana dianut oleh para pemikir muslim sebelumnya.
Fenomena
islamisasi pada seluruh aspek kehidupan yang demikiani itu, dapat dilihat
sebab-sebabnya sebagai berikut.
Pertama, bahwa
kehidupan modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengeahuan dengan teknologi
diakui telah memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia dalam segala bidang :
transportasi, komunikasi, konsumsi, pendidikan, dan sebagainya. Namun bersamaan
dengan itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut telah menimbulkan
berbagai dampak negatif berupa timbulnya persaingan dan gaya hidup yang
mehalalkan segala cara, termasuk di dalamnya penjajahan terhadap kedaulatan
Negara lain, masyarakat menganggap bahwa semua masalah dapat diselesaikan hanya
dengan materi, sehingga materi menjadi raja dan orang memujanya. Kehidupan yang
demikian itu kini sudah mulai menunjukkan kegagalannnya. Umat manusia merasakan
ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, yaitu pegangan hidup yang bersumber dari
nilai-nilai universal dan absolut yang berasal dari pencipta-Nya, yaitu Tuhan.
Di tengah – tengah kehidupan yang penuh dinamika dan penuh persaingan ini ia,
tampak sendirian, tidak punya pegangan hidup, dan rapuh. Akibat dari keadaan
yang demikian itu, maka ketika ia mengahadapi masalah yang berada di luar batas
kesanggupannya ia mulai goyah, mencari pegangan hidup yang rapuh dan sifatnya
sesaat, seperti hiburan, minum minuman keras, dan sebagainya. Mereka telah
meninggalkan fitrah dirinya sebagai makhluk yang memerlukan agama. Dalam
keadaan yang demikian itu, maka manusia membutuhkan agama. Inilah salah satu
alas an kembalinya manusia kepada agama. Kedua, bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi saat ini sudah masuk kedalam seluruh system kehidupan dengan berbagai
variasinya bagi masyarakat modern yang tinggal di perkotaan kebutuhan ilmu pengetahuan
dan teknologi demikian besar. Mulai dari peralatan rumah tangga, peralatann
masak-memasak, transportasi hingga peralatan komunikasi dan peralatan perang
lainnya sudah menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi demikian pula
masyarakat yang tinggal di pedesaan –pun sudah mulai bergantung pada ilmu
teknologi.
Ketiga,
islamisasi ilmu pengetahuanjuga terjadi sebagai respon terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berasal dari barat dengan sifat dan karakternya
yang sekular materialistis dan atheis. Ilmu pengetahuan yang demikian boleh
diterima dan dimanfaatkan oleh islam setelah ilmu pengetahuan dan tekhnologi
tersebut diarahkan oleh nilai-nilai islam yang dijamin akan membawa pada
kehidupan yang sejahtera lahir dan bathin , dunia dan akhirat. Nilai-nilai
islam yang dimaksud adalah nilai yang membawa kepatuhan pada Tuhan, menghormati
dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tolong menolong, bantu
membantu anta sesame manusia dan seterusnya.
Keempat, bahwa
islamisasi dewasa ini menjadi salah satu tumpuan umat manusia dalam
menyelamatkan kehidupannya bencana kehancuran. Islam sebagai system nilai yang
telah teruji keampuhannya dalam sejarah, mulai dipertimbangkan kembali untuk
dijadikan sebagai salah sat alaternatif untuk memecahkan berbagai masalah, yang
dihadapi umat manusia.[14]
B.
TANTANGAN ILMU- ILMU ISLAM DI TENGAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
MODERN
Ketergantungan
ummat Islam dalam pendidikan, disadari sebagai faktor terpenting dalam membina
ummat hampir tidak dapat dihindari dari
pengaruh Barat.Ujung-ujungnya krisis identitas pun tidak terhindarkan oleh
ummat Islam. Menurut AM. Syaefuddinj, ketidak berdayaan ummat Islam itu
membuatnya bersifat ntaqiyyah. Artinya kaum muslimin telah menyembunyikan identitas
Islamnya, karena rasa takut dan malu.
Melemahnya
orientasi social ummat Islam ini secara tidak sadar telah memilah-milah
pengertian Islam yang kaffah ke dalam pengertian parsial dalam hakikat hidup
bermasyarakat. Islam hanya dipandang dari arti ritual semata, sementara urusan
lain banyak didomionasi dan dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya,
ummat Islam lebih mengenal budaya Barat dari pada budayanya sendiri.
Beberapa
faktor yang menjadi tantangan ilmu- ilmu keIslaman di tengah perkembangan sains
modern, di antaranya:
1.
Ambivalensi
Teknologi.
Teknologi bagaimanapun bentuknya akan selalu
bersifat ambivalen, yaitu ada untung ruginya.yang dalam bahasa Fiqhinya disebut
manfaat dan mudharat bagi manusia dan alam lingkungannya. Dalam lingkungan
hidup misalnya dengan muncul istilah pengikisan lapisan ozon, radiasi nuklir,
limbah industry, rekayasa genetika dan lainnya. Hal ini penting mengingat
teknologi pada kenyataannya merupakan alat bagi manusia, sementara dalam
kehidupan manusia memiliki tujuan dan cara pencapaiaan yang tentunya harus
mengandung nilai agama. Oleh karena itu, seorang ilmuan Muslimharus menyadari
ia harus memulai sesuatu, kemanapun ia beranjak, ia harus melangkah dari
tradisi ke-Islaman yang merupakan identitasnya.
2.
Di kalangan
Islam masih banyak yang menekankan studi pustaka dari pada studi atas realitas
sosio-kultur.
Hal ini mengakibatkan kurang berkembangnya
literature-literatur tentang ilmu-ilmu empiris Islam seperti Sosiologi Islam,
Antropologi Islam, Psikologi Islam, ekonomi Islam dan sebagainya. Hal ini
sangat berbeda dengan tokoh ilmuan Muslim di abad renaisans Islam, di mana
hasil karyanya dijadikan sumber rujukan dalam studi pustaka. Ini dapat dilihat
dari karya Ibn Ya’qub an-Nadim yang berisi tentang ensiklopedia (al-Fihrist),
bidang Astronomi oleh Mahani, bidang Zologi oleh ad-Dinawari dan lain
sebagainya.
3.
Belum adanya
paradigma yang jelas tentang posisi
nilai normative, eksistensi dan struktur keilmuan Islam.
Sebagai misal dalam mensikapi problematika
tantangan modernisasi yang ditandai oleh pesatnya perkembangan industrialisasi,
transformasi, canggihnya alat-alat informasi, dan kuatnya paham rasionalisme
yang apabila dihadapkan kepada agama, di kalangan muslim belum mampu
menyelesaikan dengan cara dialektis tetapi masih bersifat normative. Dan para
peneliti Muslim masih kurang siap menghadapi atau menolak gagasan-gagasan
asing, karena tidak adanya persiapan secara memadai untuk melawan mereka
melalui telaah mendalam dan penolakan terhadap promis-promis palsu. Akibat yang
ditimbulkan tentang posisi nilai normatif, eksistensi dan struktur keilmuan
Islam menjadi tidak jelas. Ada yang datang dari Barat, seperti westernisasi,
rasionalisme, sekularisme, gagasan filsafat Barat dan semua yang berbau ke
Barat-Baratan semua ditolak bahkan dikafirkannya.
Adapun upaya untuk mengatasi hal tersebut di
atas, Ismail Razi al-faruqi melakukan langkah-langkah berikut:
1.
Memadukan
system pendidikan Islam, dikotomi pendidikan umum dan islam harus dihilangkan.
2.
Meningkatkan
visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas Islam melalui dua tahap, yaitu
mewajibkan bidang studi sejarah Peradaban Islam dan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan.
3.
Untuk mengatasi
persoalan metodologi, ditempuh langkah-langkah berupa penegasan prinsip-prinsip
pengetahuan Islam.
4.
Menyusun langkah
kerja sebagai berikut:
a.
Menguasai
disiplin modern.
b.
Menguasai
warisan khasanah Islam.
c.
Membangun
relevansi yang Islami bagi setiap bidang kajian atau wilayah penelitian
pengetahuan modern.
d.
Mencari jalan
dan upaya untuk menciptakan sintesis kreatif antara warisan Islam dengan
pengetahuan modern.
e.
Mengarahkan
pemikiran Islam pada arah yang tepat yaitu sunnatullah.
Sementara
al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa kini, secara keseluruhan
dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi
intelektual dan persepsi psikologi dari kebudayaan dan peradaban Barat yang
saling berkaitan. Kelima prinsip itu
adalah:
a.
Mengandalkan
akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan.
b.
Mengikuti
dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran.
c.
Membenarkan
aspek temporal untuk memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler.
d.
Pembelaan
terhadap doktrin humanism.
e. Peniruan
terhadap drama dan tragedy yang dianggap sebagai realitas universal dalam
kehidupan spiritual, atau transedental atau kehidupan batin manusia.
Kelima hal
tersebut di atas, merupakan prinsip-prinsip utama dalam pengembangan keilmuan
Barat, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan harus dihindari
oleh ummat Islam.
Demikianlah pembahasan
tentang Islamiasasi Ilmu pengetahuan
serta berbagai tantangannya, yang pada intinya bertujuan untuk memperoleh
kesepakatan baru bagi ummat Islam dalam berbagai bidang keilmuan yang sesuai
dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Di samping itu,
Islamisasi Ilmu pengetahuan juga
bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat sekuler yang ingin
memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, terutama dalam masalah keilmuan.
Islamisasi ilmu merupakan mega proyek yang belum usai dan perlu untuk
diteruskan oleh ummat Islam dari generasi-ke generasi untuk menjawab krisis
epistimologis yang melanda dunia saat ini.[15]
[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Cet. IX; Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada, 2004), h. 405-406
[2] http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/05/islamisasi-ilmu-pengetahuan.html, di akses
pada tanggal 21 November 2013, pukul 16.00
[3] Moeflich Hasbullah, Gagasan dan
Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Pustaka Cidesendo,2000),
h. 100-101.
[4] http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/05/islamisasi-ilmu-pengetahuan.html, di akses
pada tanggal 21 November 2013, pukul 16.00
[5] Mulyadi Kartanegara, Menyibak
Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Cet.I;Bandung: Mizan,
2003), h. 52.
[6] Moeflich Hasbullah, Gagasan dan
Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Pustaka Cidesendo,2000),
h.103-105
[7] Miska
Muhammad Samin, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam,
(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006), h. 17-19.
[8] Juhaya S.
Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu Dalam Islam dan Penerapannya di
Indonesia, Jakarta: Teraju,2002), h. 222.
[9] sanadthkhusus.blogspot.com/2011/05/islamisasi-ilmu-pengetahuan.html, di akses
pada tanggal 21 November 2013, pukul 16.00
[11] http://inpasonline.com/new/islamisasi-ilmu-pengetahuan-tinjauan-atas-pemikiran-syed-m-naquib-al-attas-dan-ismail-r-al-faruqi/,di akses pada tanggal 04 November
2013 pukul 14.30
[12] http://jorjoran.wordpress.com/2011/04/06/islamisasi-ilmu-pengetahuan-makalah/,di akses
pada tanggal 04 November 2013 pukul 14.15
[13] http://inpasonline.com/new/islamisasi-ilmu-pengetahuan-tinjauan-atas-pemikiran-syed-m-naquib-al-attas-dan-ismail-r-al-faruqi/,di akses
pada tanggal 04 November 2013 pukul 14.30
[15] sanadthkhusus.blogspot.com/2011/05/islamisasi-ilmu-pengetahuan.html, di akses
pada tanggal 21 November 2013, pukul 16.00