Wednesday, October 29, 2014

Islamisasi Ilmu pengetahuan



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Islam sebagai ajaran menjadi sebuah topik yang menarik untuk dikaji, baik oleh kalangan intelektual muslim sendiri maupun para orientalis atau sarjana- sarjana barat. Diantaranya, munculnya gagasan sekularisme yang dikembangkan oleh peradaban barat membawa dampak yang tidak baik terhadap perkembangan ilmu pengetahuan bagi umat islam. Sekularisasi yang memisahkan nilai- nilai agama dari kehidupan manusia, tidak hanya bertentangan dengan fitrah manusia.
Karena itu, dari kalangan intelektual muslim khawatir terjadinya pengaruh yang tidak baik dari para orientalis itu terlalu jauh bagi umat islam. Sehingga muncullah adanya konsep atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang merupakan konsep yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemologi) dan konsep Tuhan (theology), Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Dalam umat islam timbul 3 sikap dalam menghadapi ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu; (1) sikap yang dirasakan bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari barat sebagai ilmu pengetahuan sekular. Dalam membawa kemajuan islam maka ilmu itu harus berdasarkan Alquran dan Al-sunnah. (2) ilmu pengetahuan dari barat diterima sebagai ilmu pengetahuan yang netral. (3) sikap yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan barat itu sekular dan materialisme[1]. Keadaan ini menimbulkan kegelisahan beberapa pakar ilmuan islam, sehingga muncullah ide untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan pada abad 20M, Islamisasi merupakan sebuah karakter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu dan konsep Tuhan. Karena itu, pemakalah akan membahas makalah dengan judul islamisasi ilmu pengetahuan dengan rumusan masalah sebagai berikut.

B. Rumusan Masalah
1.      Apakah definsi konsep islamisasi ilmu pengetahuan?
2.   Bagaimana sejarah dan siapa tokoh islamisasi ilmu pengetahuan?
3.      Bagaimana implikasi islamisasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan?
     

C.     Tujuan
Untuk mengetahui bagaimanakah pengertian mengenai konsep islamisasi ilmu pengetahuan, sejarah, tokoh , bagaimana implikasinya dalam pendidikan di masa sekarang.










BAB II
PEMBAHASAN
A.    DEFINISI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
1.      Telaah Ontologis
Islamisasi berasal dari kata Islamization yang berarti peng-Islaman. Islamisasi merupakan salah satu istilah yang paling popular dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmun agama dan ilmu-ilmu umum.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut al-Attas adalah pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan belenggu paham sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya dan berbuat tidak adil terhadapnya. Sedangkan al-Faruqi berpendapat bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah usaha untuk mendefenisi kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argument dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita.[2]
Secara ontologis, Islamisasi Ilmu Pengetahuan memandang bahwa  dalam relitas alam semesta, sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur. Pandangan akan adanya hukum alam tersebut sama dengan kaum sekuler tetapi dalam pandangan Islam hukum tersebut adalah ciptaan Allah[3]
Dengan perintah yang sangat singkat ini, manusia dapat menentukan objek ilmu untuk dipelajari yang tiada akhirnya. Dalam konteks ini untuk memahami nilai-nilai kewahyuan, ummat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realitasnya saat ini, ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan ummat manusia. Dengan demikian dapat dipahami untuk mengulang kembali kesuksesan yang pernah diraih di masa silam, Islamisasi Ilmu Pengetahuan harus tetap digalakkan.[4]
2.      Telaah Epistemologis
Epistemologi adalah ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan bagaimana cara memperolehnya. Sehingga dapat dipahami bahwa epistemology mempersoalkan metodologi penerapan ilmu pengetahuan, dalam hal ini proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Al-Qur’an merupakan kitab yang sangat sempurna dalam menjelaskan metode pengembangan ilmu. Misalnya perlu mengingat dan menghafal tersirat dalam QS al-Baqarah (2) : 31           

 وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

          Artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar.

Di samping perlu mengingat dan menghafal di atas, diperlukan juga metode observasi, eksperimen, demonstrative dan metode intuitif[5]. Hal ini misalnya ketika Allah Swt memperlihatkan kepada Qabil dengan mengirimkan burung gagak menggali tanah untuk menguburkan burung yang mati. Dalam pengembangan ilmu dan teknologi, observasi dan meniru kerja ciptaan-Nya merupakan yang lazim misalnya meniru konsep fungsi sayap dan ekor dalam pesawat terbang. Selain observasi yang merupakan landasan pengkajian ilmu pengetahuan semata juga dibutuhkan kemampuan imajinasi, analisa dan sintesa terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang susah untuk dijawab melalui observasi laboratorium.
Sebagai contoh QS al-Ghasyiyah (88): 17-20:

أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

Artinya:  Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?.  Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?.

Untuk menjawab pertanyaan di atas tidak bisa dengan observasi atau eksperimen saja, melainkan diperlukan hipotesa yang membutuhkan proses berfikir dan berimajinasi yang intens. Dalam al-Qur’an disampaikan bahwa masih ada proses pengembangan ilmu dan teknologi yang lebih hakiki yaitu ilham yang diberikan kepada beberapa orang.[6]
Dari keterangan di atas memberikan gambaran kepada ummat Islam untuk melihat sisi lain yang juga menunjang keberhasilan Islam dalam menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan mengalami proses yang panjang tentang transformasi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke dunia Barat dalam hubungan timbal balik, baik itu dalam bentuk kajian, penafsiran maupun dalam bentuk penerjemahan.
Kondisi tersebut di atas dapat memungkinkan terjadi karena di dalam al-qur’an sendiri terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya:
a.             Yang berhubungan dengan pengetahuan alam terdapat dalam QS Saba’(34) : 10 dan QS al-Hadid (57) : 25.
b.            Yang berhubungan dengan geografi terdapat dalam QS al-Baqarah (2) : 22 dan QS ar-Rad (13) :3’.
c.             Yang berhubungan dengan kesehatan terdapat dalam QS        al-Baqarah (2) :184 dan 222, al Mudatsir (74) : 74, al-Maidah (5) : 6, an-Nisa (4) : 43 dan al-A’raf (7) : 31.
d.            Yang berhubungan dengan sejarah terdapat dalam QS Yusuf (12) : 109, al-Ashr (103) : 2, Maryam (19) : 2-15, al-Maidah (5) : 110-120 dan al-Baqarah (2) : 30-39.
e.             Yang berhubungan dengan matematika terdapat dalam QS al-Isra’ (17) : 12 dan 14 serta al-Muzammil (73) : 20
f.             Yang berhubungan dengan ekonomi terdapat dalam QS al-Baqarah (2) : 29, al-Mulk (67) : 15, an-Naba’ (78) : 9-11 dan ad-Dhuha (93) : 6-8.[7]
Dari keaneka ragaman disiplin ilmu di masing-masing bidang dapat diperlihatkan di dunia Barat, maka dalam hal ini Juhaya S Praja mengemukakan pendapatnya bahwa upaya Islammisasi telah menunjukkan hasilnya di Barat. Menurutnya ini adalah gejala aneh, mengapa tidak lahir di dunia Islam?. Alasannya mungkin karena sarjana Muslim yang hidup di dunia Barat menghadapi langsung tantangan dunia nyata terhadap Islam dan ummatnya.[8]
Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam memberikan peluang terjadinya proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan , meskipun tidak dimulai dari tanah kelahirannya. Sehingga dengan epistemology dapat dijelaskan bagaimana sebuah ilmu pengetahuan disusun menggunakan kajian ijtihadiyah dengan langkah-langkah yang telah teruji seperti mengingat, menghafal, observasi, eksperimen, demonstrative, metode intuitif, mengkaji, imajinasi, analisa dan sintesa serta adanya ilham.
3.      Telaah Aksiologis
Istilah Islamisasi Ilmu Pengetahuan sering dipandang sekelompok pemikir hanya sebagai proses penerapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkan. Konsekuensi dari epistemology  Islamisasi Ilmu Pengetahuan, maka aksiologinya yaitu mengandung nilai rohaniah atau moral yang bersumber dari agama (Islam) sifatnya adalah absolute dan kebenarannya bersifat permanen. Hal ini karena bersumber dari Dzat yang absolute (mutlak) yaitu Allah Swt.
Telaah aksiologi sasarannya adalah manfaat dari hasil kajian yang dijadikan bahasan materi, dengan artian bahwa aksiologidiartikan nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dalam hubungannya dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dapat dikatakan bahwa dengan Islamisasi dapat diketahui dengan jelas kalau Islam bukan hanya mengatur segi-segi ritualitas dalam arti shalat, puasa, zakat dan haji saja, melainkan sebuah ajaran yang mengintegrasikan segi-segi kehidupan duniawi termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain beberapa hal di atas, juga muncul para filosof dan cendikiawan muslim tidak lain oleh karena mereka bukan hanya menguasai ilmu-ilmu Islam saja tetapi juga menguasai ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Dengan ilmu, mereka dapat mempelajari gejala alam dan menciptakan peralatan untuk mengontrol gejala-gejala alam sesuai dengan hukumnya.[9]

B. SEJARAH ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
      Pandangan Islam terhadap ilmu menjadi landasan bagi pengembangan ilmu disepanjang sejarah kehidupan ummat Islam, sejak dari zaman klasik sampai sekarang. Sejak kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap ilmu dan menawarkan cahaya untuk mengubah jahiliyah menuju masyarakat yang berilmu dan beradab.
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi saw secara jelas menegaskan semangat Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yaitu ketika Allah menekankan bahwa Dia adalah sumber dan asal ilmu manusia.
Pada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran dengan dilakukannya penerjemahan terhadap karya-karya dari Persia dan Yunani. Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya Imam al-Ghazali Tahafut al-Falasifah. Hal yang demikian walaupun tidak menggunakan pelabelan Islamisasi, tetapi aktivitas yang sudah mereka lakukan semisal dengan makna Islamisasi.[10]
Secara historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam makal ahnya yang berjudul “ Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of Education, dan Ismail Raji al- Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing social science.[11]
Dari kedua makalah ini kemudian gagasan tentang islamisasi ilmu pengetahuan menjadi tersebar luas ke masyarakat muslim dunia. Pihak pro maupun kontra-pun bermunculan. Diantara tokoh yang mendukung “pro” terhadap proyek islamisasi tersebut antara lain adalah Seyyed Hossein Nasr (1933), Ziauddin Sardar (1951) dan beberapa tokoh lain yang menolak adanya westernisasi ilmu. Sedangkan pihak yang menentang “kontra” terhadap gagasan islamisasi ini yaitu beberapa pemikir muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak akan tetapi juga mengkritik gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana Fazlur Rahman, misalnya, dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas. Dia kemudian mencontohkan seperti halnya “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.





C. PRINSIP DAN TUJUAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a.       Konsep Agama (ad-din)
b.      Konsep Manusia (al-insan)
c.       Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d.      Konsep kearifan (al-hikmah)
e.       Konsep keadilan (al-‘adl)
f.       Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
g.      Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).
Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam semesta.
c. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan.
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak bertentangan tetapi saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian dari Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran. Syarat-syarat kesatuan kebenaran menurut al-Faruqi yaitu: pertama, kesatuan kebenaran tidak boleh bertentangan dengan realitas sebab wahyu merupakan firman dari Allah yang pasti cocok dengan realitas. Kedua, kesatuan kebenaran yang dirumuskan, antara wahyu dan kebenaran tidak boleh ada pertentangan, prinsip ini bersifat mutlak. Dan ketiga, kesatuan kebenaran sifatnya tidak terbatas dan tidak ada akhir. Karena pola dari Allah tidak terhingga, oleh karena itu diperlukan sifat yang terbuka terhadap segala sesuatu yang baru.
d. Kesatuan hidup
e. Kesatuan umat manusia.
Islam menganjurkan kebebasan dalam hubungannya dengan kemanusiaan tanpa batas-batas yang senantiasa menghampiri mereka. Dalam konteks ilmu pengetahuan, nampak bahwa keinginan al-Faruqi, ilmuwan beserta penemuannya, hendaknya memberi kesejahteraan kepada umat manusia tanpa memandang etnis. Ketaqwaan yang dipergunakan oleh Islam yang membebaskan dari belenggu himpitan dunia hendaknya menjadi landasan bagi para ilmuan.[12]

Tujuan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman. Adapun yang menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran tapi adalah yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang. Dan pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition). Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview).[13]

D.REALISASI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Penyebutan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagaimana dikemukakan dalam Rahardjo biasanya terkait dengan nama Ismail Faruqi, seorang sarjana kelahiran Palestina yang kini bermukim di Amerika Serikat. Ia dianggap sebagai pencetus utama gagasan ini, yang diikuti dengan pendirian sebuah lembaga penelitian international institute of Islamic thought atau yang lebih dikenal singakatannya III-T yang berkantor pusat, mula-mula di Philadelphia, tapi kemudian pindah ke Herdon, Virginia, satu jam perjalanan mobil dari Washington DC. Tapi orang Malaysia tidak menganggapnya demikian. Mereka mengatakan bahwa ide islamisasi pengetahuan itu adalah seorang sarjana ahli budaya Melayu berkebangsaan Malaysia, Naquib Alatas, adik kandung Husain Alatas. Tapi ide itu “dicuri” oleh Ismail Faruqi. NAquib Alatas sendiri , dengan dukungan Perdana Menteri Malaysia ketika itu, Anwar Ibrahim, membentuk lembaga sendiri dengan nama International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) yang berbasis di Kuala Lumpur dengan gedung dan kompleknya yang megah dan artistic, di atas bukit visi dan misi kedua lembaga itu agaknya sama. Keduanya tidak hanya melakukan kajian dan penelitian, tetapi juga pendidikan dalam rangka desseminasi.
Lebih lanjut Dawam Rahardjo melhat bahwa secara substansial gagasan islamisasi ilmu pengetahuan dari Ismail Faruqi dan Naquib Alatas. Substansi pemikiran disekitar pendektan baru terhadap pengetahuan dan realitas kaum muslim itu sendiri dapat dilacak sejak Shah wali Allah dan juga Sir. Sayid Akhmad Khan pada abad ke-18 yang mendirikan universitas Aligarh pada abad ke-19, kedudukannya di India. Yang Shah Wali Allah memelopori kebangkitan pemikiran dan pengetahuan yang berorientasi pada islam dan sekaligus bersifat modern. Keduanya merupakan perulangan gejala yang meninjau pendekatan terhadap pengetahuan dan relitas dalam kerangka islam, yang mengalami reaktivasi ketiga cendekiawan muslim.
Model kebangkitan pemikiran tersebut diikuti di Mesir dengan tampilnya pemikir social, Muhammad Abduh dan Rashid Ridha, yang di Indonesia menimbulkan gerakan Muhammadiyah. Gerakan pemikiran itu semakin kuat posisinya ketika bias memasuki universitas Al- Azhar di Kairo.
Gejala serupa berulaang pada masa kelahiran IIIT di Amerika. IIIT adalah juga tipe gerakan pemikiran. Yang berbeda dengan gerakan-gerakan yang telah ada adalah, bahwa IIIT lahir justeru di Negara barat sendiri khususnya AS, pusat peradaban modern barat dewasa ini. Corak IIIT bisa lebih dikenali dari perjalannan hidup dan biografi intelektual pendirinya, Ismail Faruqi. Menurut Dawam Rahardjo bahwa pemikiran Faruqi tentang islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya terfokus paada dua bidang studi. Pertama, adalah Arabisme, mungkin karena pengaruh darah Palestinanya. Kedua, adalah islam.
Sejak itu ia mulai terjerat oleh aktivisme yang menjadi gerakan islam. Ia tidak hanya bergerak dalam wacana ilmiah dan akademisi tetapi juga melakukan Advokasi politik. Pandangannya makin bergeser dalam melihat peranan penting islam.
Sungguhpun ia orang Palestina, namun ia cukup luas memasuki kehidupan barat sebagai seorang islamis, ia mampu memepresentasikan islam dalam kategori- kategori barat. Ia berhasil membuat islam lebiih dapat dipahami dan dihargai di lingkungan barat. Sebagaimana para reformer pendahulunya, ia mempresentasikan islam sebagai agama nalar, ilmiah dan maju secara par excellent, dengan titik berat pada aksi dan etika kerja. Bagi Al faruqi islam merupakan ide kemasyarakatan dan kebudayaan atau peradaban (civilization) dalam nomenklatur islam Indonesia, daripada sebagai ideology politik yang diwujudkan dalam konsep Negara islam (Islamic State) sebagaimana dianut oleh para pemikir muslim sebelumnya.
Fenomena islamisasi pada seluruh aspek kehidupan yang demikiani itu, dapat dilihat sebab-sebabnya sebagai berikut.
Pertama, bahwa kehidupan modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengeahuan dengan teknologi diakui telah memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia dalam segala bidang : transportasi, komunikasi, konsumsi, pendidikan, dan sebagainya. Namun bersamaan dengan itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut telah menimbulkan berbagai dampak negatif berupa timbulnya persaingan dan gaya hidup yang mehalalkan segala cara, termasuk di dalamnya penjajahan terhadap kedaulatan Negara lain, masyarakat menganggap bahwa semua masalah dapat diselesaikan hanya dengan materi, sehingga materi menjadi raja dan orang memujanya. Kehidupan yang demikian itu kini sudah mulai menunjukkan kegagalannnya. Umat manusia merasakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, yaitu pegangan hidup yang bersumber dari nilai-nilai universal dan absolut yang berasal dari pencipta-Nya, yaitu Tuhan. Di tengah – tengah kehidupan yang penuh dinamika dan penuh persaingan ini ia, tampak sendirian, tidak punya pegangan hidup, dan rapuh. Akibat dari keadaan yang demikian itu, maka ketika ia mengahadapi masalah yang berada di luar batas kesanggupannya ia mulai goyah, mencari pegangan hidup yang rapuh dan sifatnya sesaat, seperti hiburan, minum minuman keras, dan sebagainya. Mereka telah meninggalkan fitrah dirinya sebagai makhluk yang memerlukan agama. Dalam keadaan yang demikian itu, maka manusia membutuhkan agama. Inilah salah satu alas an kembalinya manusia kepada agama. Kedua, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sudah masuk kedalam seluruh system kehidupan dengan berbagai variasinya bagi masyarakat modern yang tinggal di perkotaan kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi demikian besar. Mulai dari peralatan rumah tangga, peralatann masak-memasak, transportasi hingga peralatan komunikasi dan peralatan perang lainnya sudah menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi demikian pula masyarakat yang tinggal di pedesaan –pun sudah mulai bergantung pada ilmu teknologi.
Ketiga, islamisasi ilmu pengetahuanjuga terjadi sebagai respon terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang berasal dari barat dengan sifat dan karakternya yang sekular materialistis dan atheis. Ilmu pengetahuan yang demikian boleh diterima dan dimanfaatkan oleh islam setelah ilmu pengetahuan dan tekhnologi tersebut diarahkan oleh nilai-nilai islam yang dijamin akan membawa pada kehidupan yang sejahtera lahir dan bathin , dunia dan akhirat. Nilai-nilai islam yang dimaksud adalah nilai yang membawa kepatuhan pada Tuhan, menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tolong menolong, bantu membantu anta sesame manusia dan seterusnya.
Keempat, bahwa islamisasi dewasa ini menjadi salah satu tumpuan umat manusia dalam menyelamatkan kehidupannya bencana kehancuran. Islam sebagai system nilai yang telah teruji keampuhannya dalam sejarah, mulai dipertimbangkan kembali untuk dijadikan sebagai salah sat alaternatif untuk memecahkan berbagai masalah, yang dihadapi umat manusia.[14]


B.     TANTANGAN ILMU- ILMU ISLAM DI TENGAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN MODERN
Ketergantungan ummat Islam dalam pendidikan, disadari sebagai faktor terpenting dalam membina ummat  hampir tidak dapat dihindari dari pengaruh Barat.Ujung-ujungnya krisis identitas pun tidak terhindarkan oleh ummat Islam. Menurut AM. Syaefuddinj, ketidak berdayaan ummat Islam itu membuatnya bersifat ntaqiyyah. Artinya kaum muslimin telah menyembunyikan identitas Islamnya, karena rasa takut dan malu.
Melemahnya orientasi social ummat Islam ini secara tidak sadar telah memilah-milah pengertian Islam yang kaffah ke dalam pengertian parsial dalam hakikat hidup bermasyarakat. Islam hanya dipandang dari arti ritual semata, sementara urusan lain banyak didomionasi dan dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, ummat Islam lebih mengenal budaya Barat dari pada budayanya sendiri.
Beberapa faktor yang menjadi tantangan ilmu- ilmu keIslaman di tengah perkembangan sains modern, di antaranya:
1.      Ambivalensi Teknologi.
Teknologi bagaimanapun bentuknya akan selalu bersifat ambivalen, yaitu ada untung ruginya.yang dalam bahasa Fiqhinya disebut manfaat dan mudharat bagi manusia dan alam lingkungannya. Dalam lingkungan hidup misalnya dengan muncul istilah pengikisan lapisan ozon, radiasi nuklir, limbah industry, rekayasa genetika dan lainnya. Hal ini penting mengingat teknologi pada kenyataannya merupakan alat bagi manusia, sementara dalam kehidupan manusia memiliki tujuan dan cara pencapaiaan yang tentunya harus mengandung nilai agama. Oleh karena itu, seorang ilmuan Muslimharus menyadari ia harus memulai sesuatu, kemanapun ia beranjak, ia harus melangkah dari tradisi ke-Islaman yang merupakan identitasnya.
2.      Di kalangan Islam masih banyak yang menekankan studi pustaka dari pada studi atas realitas sosio-kultur.
Hal ini mengakibatkan kurang berkembangnya literature-literatur tentang ilmu-ilmu empiris Islam seperti Sosiologi Islam, Antropologi Islam, Psikologi Islam, ekonomi Islam dan sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan tokoh ilmuan Muslim di abad renaisans Islam, di mana hasil karyanya dijadikan sumber rujukan dalam studi pustaka. Ini dapat dilihat dari karya Ibn Ya’qub an-Nadim yang berisi tentang ensiklopedia (al-Fihrist), bidang Astronomi oleh Mahani, bidang Zologi oleh ad-Dinawari dan lain sebagainya.
3.      Belum adanya paradigma  yang jelas tentang posisi nilai normative, eksistensi dan struktur keilmuan Islam.
Sebagai misal dalam mensikapi problematika tantangan modernisasi yang ditandai oleh pesatnya perkembangan industrialisasi, transformasi, canggihnya alat-alat informasi, dan kuatnya paham rasionalisme yang apabila dihadapkan kepada agama, di kalangan muslim belum mampu menyelesaikan dengan cara dialektis tetapi masih bersifat normative. Dan para peneliti Muslim masih kurang siap menghadapi atau menolak gagasan-gagasan asing, karena tidak adanya persiapan secara memadai untuk melawan mereka melalui telaah mendalam dan penolakan terhadap promis-promis palsu. Akibat yang ditimbulkan tentang posisi nilai normatif, eksistensi dan struktur keilmuan Islam menjadi tidak jelas. Ada yang datang dari Barat, seperti westernisasi, rasionalisme, sekularisme, gagasan filsafat Barat dan semua yang berbau ke Barat-Baratan semua ditolak bahkan dikafirkannya.
Adapun upaya untuk mengatasi hal tersebut di atas, Ismail Razi al-faruqi melakukan langkah-langkah berikut:
1.      Memadukan system pendidikan Islam, dikotomi pendidikan umum dan  islam harus dihilangkan.
2.      Meningkatkan visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas Islam melalui dua tahap, yaitu mewajibkan bidang studi sejarah Peradaban Islam dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
3.      Untuk mengatasi persoalan metodologi, ditempuh langkah-langkah berupa penegasan prinsip-prinsip pengetahuan Islam.
4.      Menyusun langkah kerja sebagai berikut:
a.       Menguasai disiplin modern.
b.      Menguasai warisan khasanah Islam.
c.       Membangun relevansi yang Islami bagi setiap bidang kajian atau wilayah penelitian pengetahuan modern.
d.      Mencari jalan dan upaya untuk menciptakan sintesis kreatif antara warisan Islam dengan pengetahuan modern.
e.       Mengarahkan pemikiran Islam pada arah yang tepat yaitu sunnatullah.
Sementara al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa kini, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual dan persepsi psikologi dari kebudayaan dan peradaban Barat yang saling berkaitan. Kelima prinsip  itu adalah:
a.       Mengandalkan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan.
b.      Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran.
c.       Membenarkan aspek temporal untuk memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler.
d.      Pembelaan terhadap doktrin humanism.
e.  Peniruan terhadap drama dan tragedy yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual, atau transedental atau kehidupan batin manusia.
Kelima hal tersebut di atas, merupakan prinsip-prinsip utama dalam pengembangan keilmuan Barat, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan harus dihindari oleh ummat Islam.
Demikianlah pembahasan tentang  Islamiasasi Ilmu pengetahuan serta berbagai tantangannya, yang pada intinya bertujuan untuk memperoleh kesepakatan baru bagi ummat Islam dalam berbagai bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Di samping itu, Islamisasi Ilmu pengetahuan  juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat sekuler yang ingin memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, terutama dalam masalah keilmuan. Islamisasi ilmu merupakan mega proyek yang belum usai dan perlu untuk diteruskan oleh ummat Islam dari generasi-ke generasi untuk menjawab krisis epistimologis yang melanda dunia saat ini.[15]



[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Cet. IX; Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 405-406
[2] http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/05/islamisasi-ilmu-pengetahuan.html, di akses pada tanggal 21 November 2013, pukul 16.00
[3] Moeflich Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Pustaka Cidesendo,2000), h. 100-101.
[4] http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/05/islamisasi-ilmu-pengetahuan.html, di akses pada tanggal 21 November 2013, pukul 16.00
[5] Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Cet.I;Bandung: Mizan, 2003), h. 52.
[6] Moeflich Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Pustaka Cidesendo,2000), h.103-105
[7] Miska Muhammad Samin, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006), h. 17-19.
[8] Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu Dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta: Teraju,2002), h. 222.
[9] sanadthkhusus.blogspot.com/2011/05/islamisasi-ilmu-pengetahuan.html, di akses pada tanggal 21 November 2013, pukul 16.00
[10] Ibid

[14] Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam.Jakarta: PT Raja Grafindo,2004. H.416
[15] sanadthkhusus.blogspot.com/2011/05/islamisasi-ilmu-pengetahuan.html, di akses pada tanggal 21 November 2013, pukul 16.00