Tuesday, November 4, 2014

Kaidah Asasi Ketiga Al- Masaqotu Tajlibu At- taysir (Qowaidul Ushuliyyah & Fiqhiyyah)

  I.            PENDAHULUAN

Syariat Islam tidak mentaklifkan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka.
Masyaqqah atau kesukaran yang akan menjadi sebab kepada keringanan dan dipermudahkan berdasarkan kaedah ini (masyaqqah tajlibu al-taisir) ialah masyaqqah yang melampaui hal biasa dan tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya, bahkan bisa memudaratkan diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan  amal yang berguna.
Mengingat hukum Islam yang belum atau tidak dijelaskan secara langsung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits dan baru bisa diketahui setelah terjadi penggalian lewat ijtihad, maka dikenallah sebutan dalam fiqih suatu istilah hukum dzanni atau hukum ijtihad sehingga berpengaruh pada penerapan hukumnya (تطنيق الأحكام) yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan harus sejalan dengan tuntutan zaman beserta kemaslahatan-kemaslahatannya yang menjadi prinsip utama disyari’atkannya syari’ah (maqashid al-syari’ah) dalam menyelesaikan permasalahn hukum yang dijalani oleh mukallaf.
Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi. 
Dalam makalah ini akan dibahas unsur-unsur yang terkait dalam kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir/المشقه تجلب التيسير. Hal tersebutlah yang menjadikan latar belakang bagi penulis untuk menyusun makalah ini dan sebagai tugas dari mata kuliah Qawa’id al-Fiqhiyah dan al-Ushuliyyah.

 

 

II.            PEMBAHASAN

Al- Masyaqqah Tajlibu At- Taysir (المشقة تجلب التيسير )

“Kesulitan itu mendatangkan kemudahan”.

 

A.    Dasar-dasar Nash Kaidah[1] :

1.      Sumber dari Al- Qur’an

Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr....... ÇËÑÏÈ  

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. al-Baqarah:286)

 

 ..... ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# ….. ÇÊÑÎÈ  

Artinya: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….” (QS. al-Baqarah:185)

 

߃̍ムª!$# br& y#Ïeÿsƒä öNä3Ytã 4 t,Î=äzur ß`»|¡RM}$# $ZÿÏè|Ê ÇËÑÈ  

Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[2], dan manusia dijadikan bersifat lemah”. (QS. an-Nisaa’:28)

 

ã@ÏJøtrBur öNà6s9$s)øOr& 4n<Î) 7$s#t/ óO©9 (#qçRqä3s? ÏmŠÉóÎ=»t/ žwÎ) Èd,ϱÎ0 ħàÿRF{$# 4 ....ÇÐÈ  

Artinya: “dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri...” (QS. an-Nahl:7)

 

$tBur…. Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4 ....ÇÐÑÈ  

Artinya: “…Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. al-Hajj:78)

 

2.      Sumber dari Hadis

اَلدِّيْنُ يُسْرٌ وَلَنْ يُغَالِبُ االدِّيْنُ اَحَدٌ اِلاَّغَلَبَهُ

“Agama (Islam) itu mudah. Tiada seorang pun yang akan bisa mengalahkan / menguasai agama, bahkan agamalah yang mengalahkan ia” ( HR. Baihaqi dari Abu Hurairah ra.)

 

اَلدِّيْنُ يُسْرٌ اَحَبُّ االدِّيْنَ اِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ الَّمْحَهُ

“Agama itu adalah mudah. Agama yang disenangi Allah yang benar dan mudah”. ( HR. Bukhari dari Abu Hurairah)

يَسِّرُوْاوَلاَتُعَسِّرُوْا

“Mudahkanlah dan janganlah mempersukar”. ( HR. Bukhari dari Anas)

اِنّ اللهَ أَرَادَبِهَذَ االْاُمَّةِ الْيُسْرُوَلَمْ يُرِدْبِهِمُ الْعُسْرَ

“Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan dengan umat ini dan tidaklah menghendaki kesukaran dengan mereka”.

بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَّةِ السَّمْحَةِ

“Aku diutus oleh Tuhan dengan membawa agama yang penuh kecenderungan dan toleransi”.

 

B.     Uraian Kaidah

Masyaqqah, ialah kesukaran dari mengerjakan sesuatu perbuatan, diluar dari kebiasaan. Dari segi bahasa masyaqqah bermaksud sesuatu yang meletihkan.[3] Dari sudut istilah masyaqqah digunakan khusus merujuk kepada sesuatu yang pada kebiasaannya mampu dilakukan, tetapi dalam hal tertentu ia telah keluar dari batas-batas kebiasaan dan menyebabkan seseorang mukallaf mengalami kesukaran untuk melaksanakannya.

Masyaqqah ini menimbulkan hukum rukhsah atau takhlif syari’at dan dia melengkapi darurat (idltirar) dan sebagaimana melengkapi hajat[4].

الضَّرُوْرَةُ مَا التَحَأَفِيْهَا الْمَرْءُ اِلَى حِفْظِ دِيْنِهِ اَوْنَفْسِهِ اَوْعَقْلِهِ اَوْمَالِهِ مِنَ الْهَلاَكِ وَالْحَا جَةُهِيَ مَا كَا نَتْ لاَزِمَةً لِصَلاَحِ الْمَعِيْشَةِ
“Darurat ialah apa yang harus dilakukan manusia untuk memelihara agamanya atau jiwanya, atau akalnya, atau keturunannya, atau hartanya dari kebinasaan. Dan hajat itu ialah sesuatu yang harus dilakukab untuk kebaikan penghidupan”.
Segala hukum pada asalnya adalah umum, tidak melihat kepada sesuatu keadaan tertentu atau seseorang tertentu. Hanya kadang- kadang dalam pelaksanaannya menimbulkan kesukaran. Dalam hal ini al- Ghazali, berkata :
كُلُّ مَا تَجَاوَزَحَدُّهُ اِنْعَكَسِ اِلَى ضِدِّهِ
“Segala yang melampaui batasnya, bertukar kepada lawannya.”[5]

Oleh sebab itu perlu diadakan jalan untuk menghindari kesukaran dengan mengadakan pengecualian hukum. Maka atas dasar ini telah di syari’atkan banyak hukum yang di dalam hukum- hukum itu diperhatikan tabi’at manusia dan kemampuan manusia memikul hukum.

Kaedah ini bermaksud kesukaran itu menarik adanya kemudahan/kesukaran membawa kepada keringanan. Selain itu juga, kaedah ini bermaksud, apabila terdapat sesuatu kesusahan atau kesulitan dalam menunaikan dan melaksanakan perintah Allah SWT, perintah itu diringankan, tidak seperti asalnya. Berdasarkan kaedah tersebut maka menjadi dasar terbentuknya semua hukum  rukhsah atau keringanan dalam syariat Islam.[6]

Selain itu, dengan kaidah ini dimaksudkan agar syariat Islam dapat dilaksanakan oleh hamba mukhallaf kapan dan dimana saja, yakni dengan memberitahukan kelonggaran atau keringanan disaat seorang hamba menjumpai kesukaran dan kesempitan.

Prinsip ini telah dipraktikan oleh Nabi SAW. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits[7] :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص م اِذَاخَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلاَثَةِ اَمْيَالٍ اَوْفَرَاسَخَ صَلَى رَكْعَتَيْنِ
“Adalah Rasulullah SAW bepergian pada jarak tiga mil atau farsakh, beliau shalat dua rakaat” (HR.Muslim dari Anas)
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلُ اللهِ ص م مِنَ المَدِيْنَةِ اِلَى مَكَّةَ فَكَانَ يُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّ رَجَعْنَا اِلَىالْمَدِيْنَةِ
kami keluar bersama Rasulullah SAW. dari Madinah ke Mekkah, beliau mengerjakan shalat dua rakaat, dua rakaat sehingga kami pulang ke Madinah.” ( HR. Bukhari dan Muslim dari Anas)

 

C.     Klasifikasi Kesulitan

Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori, yaitu :[8]
1.      Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang dialami, dimana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat dihilangkan taklif, dan tidak menyulitkan untuk ibadah. Misalnya seseorang kesulitan mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan berarti diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa dan sebagainya, atau karena kesulitan mencari ma’isah itu menggugurkan hukum qishas. Karena itu Ibnu Abdus Salam menyatakan bahwa kesulitan itu berkaitan dengan kepayahan, maka kemaslahatan dunia akhirat dapat mengikuti kadar kepayahan itu. (Wahbah az-Zuhaili, 1982: 196-197)

2.      Kesulitan Ghairu Mu’tadah
Kesulitan ghairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak memikul kesulitan itu, karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh kriteria akal sehat, syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya. Kesulitan semacam ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhsah). Misalnya wanita yang selalu istihadlah maka wujudnya cukup untuk shalat wajib sedang  untuk ibadah sunnah yang lainnya tidak di wajibkan, dan di perbolehkan shalat khusus bagi mereka yang sedang berperang dan sebagainya. (Wahbah az-Zuhaili, 1982: 199-200)[9]

D.    Klasifikasi Kemudahan/Keringanan Syara’
Menurut pendapat Syeikh ‘Izz al-Din bin Abd al-Salam al-Syafi’i, jenis keringanan atau rukhsah itu ada enam. Tetapi menurut ulama mazhab Hanafi sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Nujaym, rukhsah itu ada tujuh jenis yaitu[10]:
1.       تخفيف إسقاط   - keringanan dengan menggugurkan kewajiban. Contohnya :
a.       Tidak wajib atau gugurnya solat Jumat karena ada halangan tertentu.
b.      Digugurkannya kewajiban haji dan umrah disebabkan keuzuran.

2.       تخفيف تنقيص   - keringanan dengan mengurangkan bebanan.
Contohnya :
a.       Memendekkan atau meringkas (qasar) solat dzuhur atau asar menjadi dua rakaat.

3.       تخفيف إبدال   - keringanan dengan gantian atau penukaran.
Contohnya :
a.       Digantinya berwudu dan mandi dengan bertayammum.
b.      Mengganti kedudukan solat bagi orang sakit yang tidak berdiri kepada duduk atau baring atau isyarat.
c.       Penggantian bagi orang tua yang uzur yang tidak dapat berpuasa dengan membayar fidyah.

4.       تخفيف تقديم   - keringanan dengan mendahulukan.
Contohnya :
a.       Menyegerakan membayar zakat sebelum waktu atau haulnya.
b.      Solat jama’ taqdim.

5.       تخفيف تاخير  - keringanan dengan mengakhirkan.
Contohnya :
a.       Menangguhkan puasa Ramadhan kerana musafir.
b.      Solat jama’ ta’khir.
c.       Menangguhkan solat demi menyelamatkan orang mati lemas dan terbakar.

6.       تخفيف ترخيص  - keringanan mendapat rukhsah karena terdesak atau terpaksa.
Contohnya :
a.       Minum arak karena terlalu dahaga dan ketiadaan air.
b.      Diharuskan makan bangkai karena terdesak.

7.       تخفيف تغيير  - keringanan mengubah atau menukar.
Contohnya :
a.       Menukar dan mengubah kedudukan serta cara mendirikan solat ketika dalam keadaan ketakutan dan menghadapi musuh atau darurat.


E.     Klasifikasi Rukhsah Syar’iyyah
Menurut ulama ushul fiqh, rukhsah syar’iyyah didefinisikan sebagai hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah SWT dengan mengambil keuzuran manusia. Tetapi ulama dalam kalangan mazhab Syafi’i mentakrifkannya sebagai hukum yang menyanggahi dalil karena keuzurannya. Ulama mazhab Syafi’i membagikan rukhsah kepada lima bagian :[11]
1.      Rukhsah Wajib
Contohnya makan bangkai yang hukum asalnya adalah haram, tetapi karena darurat, sekiranya ia tidak makan bisa menyebabkan kematian, maka dalam keadaan ini hukumnya berubah menjadi wajib, selain itu berbuka puasa karena terlalu lapar dan dahaga yang boleh membawa kepada kebinasaan diri dan minum arak untuk memboloskan makanan yang tersekat di kerongkong ketika tiada minuman lain. Semua itu wajib dilakukan untuk menjaga diri dari kebinasaan. Hal demikian berdasarkan firman Allah SWT:
…. Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ÷ƒr'Î/ n<Î) Ïps3è=ök­J9$# …. ÇÊÒÎÈ  
Artinya: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”…(QS al-Baqarah:195)
2.      Rukhsah Sunah
Contohnya sholat dhuhur jika hanya dikerjakan dua rakaat hukum asalnya haram, tetapi karena bepergian jauh, maka hukumnya berubah menjadi sunnah, sebab ia diperbolehkan untuk mengqashar shalatnya, selain itu berbuka puasa karena sakit atau dalam perjalanan (musafir). Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Ia merupakan sedekah yang disedekahkan oleh Allah kepada kamu, maka terimalah sedekahnya”.

3.      Rukhsah Mubah
Contohnya uang “panjar” ( uang yang terlebih dahulu di bayarkan sebelum ada barang/kerja) semula hukumnya tidak boleh, tetapi setelah sangat dibutuhkan, maka hukumnya berubah menjadi mubah.

4.      Rukhsah khilaf al-aula
Contohnya Shalat jama’ bagi orang yang sedang tidak bepergian hukumnya haram, tetapi karena sakit, maka berubah menjadi khilaf al-aula. Contoh lainnya Seperti melafazkan kekufuran ketika dipaksa dalam keadaan hati tetap beriman dan berbuka puasa ketika dalam perjalanan bagi orang yang tidak mengalami sebarang kesulitan.

5.      Rukhsah makruh
Misalnya shalat qashar asal hukumnya tidak boleh, tetapi mengqashar karena bepergian dan jarak tempuhnya kurang dari tiga marhalah (±80 km), maka hukumnya menjadi makruh[12].



F.      Kaidah cabang[13]
 الضرورات تبيح المحظورات
Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu membolehkan larangan-larangan”.
            Kaedah ini bermaksud keadaan kemudaratan itu membolehkan dan mengharuskan perkara yang dilarang. Contohnya, harus memakan bangkai atau benda haram ketika sangat lapar untuk menyelamatkan diri dari kematian.

 الضرورات تقدر بقدرها
Artinya : ’Keadaan darurat ditentukan mengikuti hukumnya’’.
            Keadaan darurat yang diharuskan atau dibolehkan disebabkan ada kemudaratan. Kadar kemudaratan tersebut hendaklah tidak berlebihan dan melampai batas. Hukum harus  tersebut hanyalah  sekadar untuk  menghilangkan kemudaratan  yang sedang menimpa, apabila kemudaratan itu hilang, maka pengharusan terhadap apa yang didasarkan kepada kemudaratan itu hilang juga, yaitu ia kembali kembali hukum asal.

ما جاز لعذر  بطل بزواله
Artinya : ”Apa yang diharuskan karena uzur, batal dengan sebab hilangnya uzur tersebut”.
            Sesuatu yang dihalalkan dan diharuskan ketika ada keuzuran itu akan kembali kepada hukum asal apabila hilang keuzuran tersebut. Contohnya, tayammun menjadi batal dengan sebab didapati atau adanya air sebelum mendirikan sembahyang. Pada bulan Ramadhan seseorang jatuh sakit, diharuskan berbuka puasa kerana keuzurannya itu. Namun setelah dia sembuh, maka dia wajib berpuasa.

 الإضصطرار لا يبطل حق الغير
Artinya : “Keadaan terdesak tidak membatalkan hak orang lain”.
            Kaedah ini membawa maksud, keperluan di waktu terdesak tidak dapat membatalkan hak milik orang lain sepenuhnya. Ia sama dengan desakan disebabkan perkara samawi seperti lapar atau bukan disebabkan perkara samawi seperti dipaksa. Contohnya, apabila tempo sewa atau upah menyusu bayi dari ibu susu telah habis, sedangkan bayi tersebut telah dapat menyesuaikan diri dengan susunya, ditambah pula, bayi tersebut belum dapat makan atau menerima makanan lain, maka ibu susu tersebut boleh dipaksa supaya terus menyusui bayi tersebut, ini adalah untuk menjaga kepentingan bayi. Ibu susu tersebut hendaklah dibayar upah dengan  kadar yang setimpal.

 الحكم يتبع المصلحة الراجحة
Artinya : “Hukum itu mengikut kemaslahatan yang kukuh”.
            Kaedah ini banyak digunakan dalam perkara yang berkaitan dengan ibadat, jihad dan sebagainya. Walaupun kadangkala pada zahirnya didapati ada kerugian daripada perbuatan tersebut, namun kesudahannya atau hakikatnya terdapat kemaslahatan yang kuat dan rajih. Lantaran itulah syarak menyuruh melaksanakan. Contohnya, keizinan berjihad dan memerangi musuh. Pada zahirnya menyebabkan kematian dan kerusakan, namun natijahnya adalah amat baik dan jelas. yaitu mempertahankan diri, agama dan menyebarkan agama Islam. Hasil jihad, Islam tersebar ke pelosok dunia.

الحكم يدور مع علته
Artinya : “Hukum itu berkisar bersama illahnya atau sebabnya”.
Kaedah ini bermaksud sesuatu hukum itu atau hukum yang ada itu disebabkan ada illahnya atau sebabnya. Lantaran itu sekiranya illah itu hilang, maka tidak berlakulah hukum tersebut. Contohnya, diharamkan arak disebabkan illahnya yang memabukkan, apabila illahnya hilang atau tidak ada lagi, maka pada saat itu ia tidak diharamkan, seperti arak tersebut telah bertukar menjadi cuka. Contoh lainnya, jus anggur atau nira  apabila ia bertukar menjadi arak maka hilanglah kehalalannya

 ينزل المجهول منزلة المعدوم
Artinya : ”Kedudukan perkara yang tidak diketahui itu sama dengan kedudukan yang tidak ada”.
Kaedah ini dibawa oleh Ibn Rajib al- Hanbali dalam kitab Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid. Ia bermaksud apa yang tidak diketahui  atau majhul kedudukan serta tarafnya sama dengan taraf apa yang tidak ada. Contohnya, barang temuan atau harta yang ditemui tercicir selepas waktu haul atau masanya, ia menjadi milik orang yang menemuinya atas dasar tidak diketahui pemilik asalnya. Apa-apa yang tidak dapat dimiliki dari barangan temuan pula, hendaklah disedekahkan menurut pendapat yang tepat.

اَلتّسْهِيْلُ فِى مَوَاضِعِ الضَّرُوْرَةِ وَالبَلْوى العَا مَّةِ
Artinya: “ memudahkan itu adalah di tempat darurat dan dipekerjaan-pekerjaan yang umum berlakunya.”[14]
Kaidah ini merupakan salah satu dari kaidah-kaidah ulama Hanafiyah. Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa adanya kemudahan itu hanya pada waktu keadaan darurat, dan pekerjaan/perbuatan itu yang biasanya dilakukannya. Dengan demikian menurut kaidah ini apabila perbuatan/pekerjaan itu biasa dilakukan maka tidak boleh menggunakan keringanan (rukhsah) tersebut. Contohnya seseorang yang ingin memperbanyak ibadah shalat, sehingga ia sampai tidak dapat memenuhi hak-hak keluarganya, dan keadaan demikian menimbulkan kerugian bagi pihak lain lantaran kita melampaui batas, maka perbuatan seperti itu sesuai dengan kaidah ini tidak boleh mengambil rukhsah.

الرُّخَصُ تُنَا طُ بِالشَّكِّ
Artinya: “keringanan (rukhsah) itu tidak dihubungkan / dikaitkan dengan yang syak (keragu-raguan).”[15]
Contohnya dibolehkan menyapu sepatu (khuf) bagi orang yang berwudhu bila benar-benar kedua kakinya masih bersih dan telah dicuci sebelum memasukkannya kedalam sepatu tersebut. Namun apabila diragukan sucinya kedua kaki tersebut, maka yang demikian ini tidak boleh adanya rukhsah.


 III.            KESIMPULAN
Al-Masyaqqah menurut bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Sedang Al-Taysir secara etimologis berarti kemudahan. Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan.
Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penarapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga syariah meringankannya sehingga mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran. Klasifikasi Kesulitan menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili dibagi menjadi 2, yaitu:
    1. Kesulitan Mu’tadah
    2. Kesulitan ghairu Mu’tadah
Macam sebab-sebab yang menyebutkan kesulitan : Karena safar (bepergian), Keadaan sakit, Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya, Lupa (al nisyam), Karena Jahl (Bodoh), Karena, Usrun dan Umumul Balwa (Kesulitan), Karena Naqsh (Kekurangan).
Keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya ada tujuh macam menurut ulama mazhab Hanafi sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Nujaym, yaitu : Takhfif isqath/rukhsah isqath, Takhfif tanqish, Takhfif abdal, Takhfif taqdim, Takhfif  ta’khir, Takhfif tarkhis, Takhfif taghyir.
Sedangkan Ulama mazhab Syafi’i membagikan rukhsah kepada lima bagian, yaitu: Rukhsah wajib, rukhsah sunah, rukhsah mubah, rukhsah khilaf al-aula, dan rukhsah makruh.


DAFTAR PUSTAKA

Ab. Latif Muda & Rosmawati Ali. 2000. Perbahasan Kaedah-kaedah Fiqh. Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn

Abdul Mudjib. 2001. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh (al-Qowa’idul fiqhiyyah). Cet.2. Jakarta: Kalam Mulia

Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Rilis Grafika, 2009).

Imam Musbikin. 2001. Qawaid Al- Fiqhiyah, Cet.I. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Muchlis Usman, MA. 2002. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam.cet.4. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Saadan Man.1994. Doktrin Masyaqqah dan Hukum Keringanan Menurut Prinsip Islam. Jilid 2


Sumber Online:


[1] Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Rilis Grafika, 2009).

 

[2] Yaitu dalam syari'at di antaranya boleh menikahi budak bila telah cukup syarat-syaratnya.

[3] Man, Saadan. 1994. Doktrin Masyaqqah dan Hukum Keringanan Menurut Prinsip Islam. Jilid 2, h.18

[4] Musbikin, Imam. Qawaid Al- Fiqhiyah, Cet.I, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h.83-84
[5] Ibid

[6] http://www.abdulhelim.com/2012/05/kaidah-asasiyah-tentang-al-masyaqqah.html, diakses pada tanggal 25 Februari 2014, pukul 13:40 WITA

[7] Musbikin, Imam, Op.Cit, h.85
[8] Usman, Muchlis. 2002. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam.cet.4. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada). h.126
[9] Ibid, h.127

[10] http://raudhahal-ilm.blogspot.com/2011/03/masyaqqah-tajlibu-al-taisir.html, diakses pada tanggal 25 Februari 2014, pukul 14:03 WITA
[11]Musbikin, Imam.Op.Cit, h.86
[12] Mudjib, Abdul , Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh (al-Qowa’idul fiqhiyyah). Cet.2. (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h.33

[13]Ali Rosmawati, Ab. Latif Muda. Perbahasan Kaedah-kaedah Fiqh. (Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn), 2000, h.139
[14] Musbikin, Imam. Op.Cit, h.90

[15] Ibid, h.91

No comments:

Post a Comment