I. PENDAHULUAN
Syariat Islam tidak mentaklifkan
kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang
boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak
bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka.
Masyaqqah atau kesukaran yang akan menjadi
sebab kepada keringanan dan dipermudahkan berdasarkan kaedah ini (masyaqqah
tajlibu al-taisir) ialah masyaqqah yang melampaui hal biasa dan
tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya, bahkan bisa memudaratkan
diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan amal yang berguna.
Mengingat hukum Islam yang belum atau tidak dijelaskan secara langsung oleh
Al-Qur’an dan Al-Hadits dan baru bisa diketahui setelah terjadi penggalian
lewat ijtihad, maka dikenallah sebutan dalam fiqih suatu istilah hukum dzanni atau hukum ijtihad sehingga
berpengaruh pada penerapan hukumnya (تطنيق
الأحكام) yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan harus
sejalan dengan tuntutan zaman beserta kemaslahatan-kemaslahatannya yang menjadi
prinsip utama disyari’atkannya syari’ah (maqashid al-syari’ah) dalam
menyelesaikan permasalahn hukum yang dijalani oleh mukallaf.
Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada
mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan
kepastian hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi.
Dalam
makalah ini akan dibahas unsur-unsur yang terkait dalam
kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir/المشقه
تجلب التيسير. Hal
tersebutlah yang menjadikan latar belakang bagi penulis untuk menyusun makalah
ini dan sebagai tugas dari mata kuliah Qawa’id al-Fiqhiyah dan al-Ushuliyyah.
II. PEMBAHASAN
Al- Masyaqqah Tajlibu At- Taysir (المشقة تجلب التيسير )
“Kesulitan itu mendatangkan kemudahan”.
A. Dasar-dasar Nash Kaidah[1] :
1. Sumber dari Al- Qur’an
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr....... ÇËÑÏÈ
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. al-Baqarah:286)
..... ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# ….. ÇÊÑÎÈ
Artinya: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….” (QS. al-Baqarah:185)
ßÌã ª!$# br& y#Ïeÿsä öNä3Ytã 4 t,Î=äzur ß`»|¡RM}$# $ZÿÏè|Ê ÇËÑÈ
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[2], dan manusia dijadikan bersifat lemah”. (QS. an-Nisaa’:28)
ã@ÏJøtrBur öNà6s9$s)øOr& 4n<Î) 7$s#t/ óO©9 (#qçRqä3s? ÏmÉóÎ=»t/ wÎ) Èd,ϱÎ0 ħàÿRF{$# 4 ....ÇÐÈ
Artinya: “dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri...” (QS. an-Nahl:7)
$tBur…. @yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4 ....ÇÐÑÈ
Artinya: “…Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. al-Hajj:78)
2. Sumber dari Hadis
اَلدِّيْنُ يُسْرٌ وَلَنْ يُغَالِبُ االدِّيْنُ اَحَدٌ اِلاَّغَلَبَهُ
“Agama (Islam) itu mudah. Tiada seorang pun yang akan bisa mengalahkan / menguasai agama, bahkan agamalah yang mengalahkan ia” ( HR. Baihaqi dari Abu Hurairah ra.)
اَلدِّيْنُ يُسْرٌ اَحَبُّ االدِّيْنَ اِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ الَّمْحَهُ
“Agama itu adalah mudah. Agama yang disenangi Allah yang benar dan mudah”. ( HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
يَسِّرُوْاوَلاَتُعَسِّرُوْا
“Mudahkanlah dan janganlah mempersukar”. ( HR. Bukhari dari Anas)
اِنّ اللهَ أَرَادَبِهَذَ االْاُمَّةِ الْيُسْرُوَلَمْ يُرِدْبِهِمُ الْعُسْرَ
“Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan dengan umat ini dan tidaklah menghendaki kesukaran dengan mereka”.
بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَّةِ السَّمْحَةِ
“Aku diutus oleh Tuhan dengan membawa agama yang penuh kecenderungan dan toleransi”.
B. Uraian Kaidah
Masyaqqah, ialah kesukaran dari mengerjakan sesuatu perbuatan, diluar dari kebiasaan. Dari segi bahasa masyaqqah bermaksud sesuatu yang meletihkan.[3] Dari sudut istilah masyaqqah digunakan khusus merujuk kepada sesuatu yang pada kebiasaannya mampu dilakukan, tetapi dalam hal tertentu ia telah keluar dari batas-batas kebiasaan dan menyebabkan seseorang mukallaf mengalami kesukaran untuk melaksanakannya.
Masyaqqah ini menimbulkan hukum rukhsah atau takhlif syari’at dan dia melengkapi darurat (idltirar) dan sebagaimana melengkapi hajat[4].
الضَّرُوْرَةُ
مَا التَحَأَفِيْهَا الْمَرْءُ اِلَى حِفْظِ دِيْنِهِ اَوْنَفْسِهِ اَوْعَقْلِهِ
اَوْمَالِهِ مِنَ الْهَلاَكِ وَالْحَا جَةُهِيَ مَا كَا نَتْ لاَزِمَةً لِصَلاَحِ
الْمَعِيْشَةِ
“Darurat
ialah apa yang harus dilakukan manusia untuk memelihara agamanya atau jiwanya,
atau akalnya, atau keturunannya, atau hartanya dari kebinasaan. Dan hajat itu
ialah sesuatu yang harus dilakukab untuk kebaikan penghidupan”.
Segala hukum
pada asalnya adalah umum, tidak melihat kepada sesuatu keadaan tertentu atau
seseorang tertentu. Hanya kadang- kadang dalam pelaksanaannya menimbulkan
kesukaran. Dalam hal ini al- Ghazali, berkata :
كُلُّ مَا تَجَاوَزَحَدُّهُ
اِنْعَكَسِ اِلَى ضِدِّهِ
“Segala
yang melampaui batasnya, bertukar kepada lawannya.”[5]
Oleh sebab itu perlu diadakan jalan untuk menghindari kesukaran dengan mengadakan pengecualian hukum. Maka atas dasar ini telah di syari’atkan banyak hukum yang di dalam hukum- hukum itu diperhatikan tabi’at manusia dan kemampuan manusia memikul hukum.
Kaedah ini bermaksud kesukaran itu menarik adanya kemudahan/kesukaran membawa kepada keringanan. Selain itu juga, kaedah ini bermaksud, apabila terdapat sesuatu kesusahan atau kesulitan dalam menunaikan dan melaksanakan perintah Allah SWT, perintah itu diringankan, tidak seperti asalnya. Berdasarkan kaedah tersebut maka menjadi dasar terbentuknya semua hukum rukhsah atau keringanan dalam syariat Islam.[6]
Selain itu, dengan kaidah ini dimaksudkan agar syariat Islam dapat dilaksanakan oleh hamba mukhallaf kapan dan dimana saja, yakni dengan memberitahukan kelonggaran atau keringanan disaat seorang hamba menjumpai kesukaran dan kesempitan.
Prinsip ini
telah dipraktikan oleh Nabi SAW. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits[7] :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص م اِذَاخَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلاَثَةِ اَمْيَالٍ
اَوْفَرَاسَخَ صَلَى رَكْعَتَيْنِ
“Adalah
Rasulullah SAW bepergian pada jarak tiga mil atau farsakh, beliau shalat dua
rakaat” (HR.Muslim
dari Anas)
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلُ اللهِ ص م مِنَ المَدِيْنَةِ اِلَى مَكَّةَ
فَكَانَ يُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّ رَجَعْنَا اِلَىالْمَدِيْنَةِ
“kami keluar bersama
Rasulullah SAW. dari Madinah ke Mekkah, beliau mengerjakan shalat dua rakaat,
dua rakaat sehingga kami pulang ke Madinah.” ( HR. Bukhari dan Muslim dari
Anas)
C. Klasifikasi Kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2
kategori, yaitu :[8]
1.
Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah adalah
kesulitan yang dialami, dimana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga
ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat dihilangkan
taklif, dan tidak menyulitkan untuk ibadah. Misalnya seseorang kesulitan
mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan
berarti diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa dan
sebagainya, atau karena kesulitan mencari ma’isah itu menggugurkan hukum
qishas. Karena itu Ibnu Abdus Salam menyatakan bahwa kesulitan itu berkaitan
dengan kepayahan, maka kemaslahatan dunia akhirat dapat mengikuti kadar
kepayahan itu. (Wahbah az-Zuhaili, 1982: 196-197)
2.
Kesulitan Ghairu Mu’tadah
Kesulitan ghairu mu’tadah
adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak memikul
kesulitan itu, karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri dan
memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh
kriteria akal sehat, syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya.
Kesulitan semacam ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhsah). Misalnya wanita yang selalu
istihadlah maka wujudnya cukup untuk shalat wajib sedang untuk ibadah sunnah yang lainnya tidak di
wajibkan, dan di perbolehkan shalat khusus bagi mereka yang sedang berperang
dan sebagainya. (Wahbah az-Zuhaili, 1982: 199-200)[9]
D. Klasifikasi Kemudahan/Keringanan Syara’
Menurut pendapat
Syeikh ‘Izz al-Din bin Abd al-Salam al-Syafi’i, jenis keringanan atau rukhsah
itu ada enam. Tetapi menurut ulama mazhab Hanafi sebagaimana yang dijelaskan
oleh Ibn Nujaym, rukhsah itu ada tujuh jenis yaitu[10]:
1. تخفيف إسقاط - keringanan dengan menggugurkan kewajiban.
Contohnya :
a. Tidak wajib atau gugurnya solat Jumat karena ada halangan
tertentu.
b. Digugurkannya kewajiban haji dan umrah disebabkan
keuzuran.
2. تخفيف تنقيص - keringanan dengan
mengurangkan bebanan.
Contohnya :
a. Memendekkan atau meringkas (qasar)
solat dzuhur atau asar menjadi dua rakaat.
3. تخفيف إبدال - keringanan dengan gantian atau penukaran.
Contohnya :
a.
Digantinya berwudu dan mandi dengan bertayammum.
b. Mengganti
kedudukan solat bagi orang sakit yang tidak berdiri kepada duduk atau baring
atau isyarat.
c. Penggantian bagi orang
tua yang uzur yang tidak dapat berpuasa dengan membayar fidyah.
4. تخفيف تقديم - keringanan dengan mendahulukan.
Contohnya :
a.
Menyegerakan membayar zakat sebelum waktu atau haulnya.
b.
Solat jama’ taqdim.
5. تخفيف تاخير - keringanan dengan mengakhirkan.
Contohnya :
a.
Menangguhkan
puasa Ramadhan kerana musafir.
b.
Solat
jama’ ta’khir.
c.
Menangguhkan
solat demi menyelamatkan orang mati lemas dan terbakar.
6. تخفيف ترخيص - keringanan mendapat rukhsah karena
terdesak atau terpaksa.
Contohnya :
a. Minum arak karena terlalu dahaga dan
ketiadaan air.
b. Diharuskan makan bangkai karena
terdesak.
7. تخفيف تغيير - keringanan mengubah atau menukar.
Contohnya :
a.
Menukar
dan mengubah kedudukan serta cara mendirikan solat ketika dalam keadaan
ketakutan dan menghadapi musuh atau darurat.
E. Klasifikasi Rukhsah Syar’iyyah
Menurut ulama ushul
fiqh, rukhsah syar’iyyah didefinisikan sebagai hukum-hukum yang
disyariatkan oleh Allah SWT dengan mengambil keuzuran manusia. Tetapi ulama
dalam kalangan mazhab Syafi’i mentakrifkannya sebagai hukum yang menyanggahi
dalil karena keuzurannya. Ulama mazhab Syafi’i membagikan rukhsah kepada
lima bagian :[11]
1. Rukhsah Wajib
Contohnya makan bangkai yang hukum asalnya adalah haram, tetapi karena
darurat, sekiranya ia tidak makan bisa menyebabkan kematian, maka dalam keadaan
ini hukumnya berubah menjadi wajib, selain itu berbuka puasa karena terlalu lapar dan dahaga yang boleh
membawa kepada kebinasaan diri dan minum arak untuk memboloskan makanan yang
tersekat di kerongkong ketika tiada minuman lain. Semua itu wajib dilakukan
untuk menjaga diri dari kebinasaan. Hal demikian berdasarkan firman Allah SWT:
…. wur (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ n<Î) Ïps3è=ökJ9$# …. ÇÊÒÎÈ
Artinya: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”…(QS
al-Baqarah:195)
2. Rukhsah Sunah
Contohnya sholat
dhuhur jika hanya dikerjakan dua rakaat hukum asalnya haram, tetapi karena
bepergian jauh, maka hukumnya berubah menjadi sunnah, sebab ia diperbolehkan
untuk mengqashar shalatnya, selain itu berbuka puasa karena sakit atau dalam
perjalanan (musafir). Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Ia merupakan sedekah yang disedekahkan oleh
Allah kepada kamu, maka terimalah sedekahnya”.
3. Rukhsah Mubah
Contohnya uang “panjar” ( uang yang terlebih dahulu di bayarkan
sebelum ada barang/kerja) semula hukumnya tidak boleh, tetapi setelah sangat
dibutuhkan, maka hukumnya berubah menjadi mubah.
4. Rukhsah khilaf al-aula
Contohnya Shalat jama’ bagi orang yang sedang tidak bepergian hukumnya haram,
tetapi karena sakit, maka berubah menjadi khilaf al-aula. Contoh lainnya Seperti melafazkan kekufuran ketika dipaksa dalam keadaan
hati tetap beriman dan berbuka puasa ketika dalam perjalanan bagi orang yang
tidak mengalami sebarang kesulitan.
5. Rukhsah makruh
Misalnya shalat
qashar asal hukumnya tidak boleh, tetapi mengqashar karena bepergian dan jarak
tempuhnya kurang dari tiga marhalah (±80 km), maka hukumnya menjadi makruh[12].
F. Kaidah
cabang[13]
الضرورات تبيح المحظورات
Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan
itu membolehkan larangan-larangan”.
Kaedah
ini bermaksud keadaan kemudaratan itu membolehkan dan mengharuskan perkara yang
dilarang. Contohnya, harus memakan bangkai atau benda haram ketika
sangat lapar untuk menyelamatkan diri dari kematian.
الضرورات تقدر
بقدرها
Artinya : ’Keadaan
darurat ditentukan mengikuti hukumnya’’.
Keadaan darurat yang diharuskan atau
dibolehkan disebabkan ada kemudaratan. Kadar kemudaratan tersebut hendaklah
tidak berlebihan dan melampai batas. Hukum harus tersebut hanyalah sekadar untuk
menghilangkan kemudaratan yang
sedang menimpa, apabila kemudaratan itu hilang, maka pengharusan terhadap apa
yang didasarkan kepada kemudaratan itu hilang juga, yaitu ia kembali kembali
hukum asal.
ما جاز لعذر بطل بزواله
Artinya : ”Apa
yang diharuskan karena uzur, batal dengan sebab hilangnya uzur tersebut”.
Sesuatu yang dihalalkan dan
diharuskan ketika ada keuzuran itu akan kembali kepada hukum asal apabila
hilang keuzuran tersebut. Contohnya, tayammun menjadi batal dengan sebab
didapati atau adanya air sebelum mendirikan sembahyang. Pada bulan Ramadhan
seseorang jatuh sakit, diharuskan berbuka puasa kerana keuzurannya itu. Namun
setelah dia sembuh, maka dia wajib berpuasa.
الإضصطرار لا يبطل حق الغير
Artinya : “Keadaan terdesak tidak
membatalkan hak orang lain”.
Kaedah
ini membawa maksud, keperluan di waktu terdesak tidak dapat membatalkan hak
milik orang lain sepenuhnya. Ia sama dengan desakan disebabkan perkara samawi
seperti lapar atau bukan disebabkan perkara samawi seperti dipaksa.
Contohnya, apabila tempo sewa atau upah menyusu bayi dari ibu susu telah habis,
sedangkan bayi tersebut telah dapat menyesuaikan diri dengan susunya, ditambah
pula, bayi tersebut belum dapat makan atau menerima makanan lain, maka ibu susu
tersebut boleh dipaksa supaya terus menyusui bayi tersebut, ini adalah untuk
menjaga kepentingan bayi. Ibu susu tersebut hendaklah dibayar upah dengan kadar yang setimpal.
الحكم يتبع المصلحة الراجحة
Artinya : “Hukum itu mengikut kemaslahatan yang kukuh”.
Kaedah
ini banyak digunakan dalam perkara yang berkaitan dengan ibadat, jihad dan
sebagainya. Walaupun kadangkala pada zahirnya didapati ada kerugian daripada
perbuatan tersebut, namun kesudahannya atau hakikatnya terdapat kemaslahatan
yang kuat dan rajih. Lantaran itulah syarak menyuruh melaksanakan.
Contohnya, keizinan berjihad dan memerangi musuh. Pada zahirnya menyebabkan
kematian dan kerusakan, namun natijahnya adalah amat baik dan jelas. yaitu
mempertahankan diri, agama dan menyebarkan agama Islam. Hasil jihad, Islam
tersebar ke pelosok dunia.
الحكم يدور مع علته
Artinya : “Hukum itu berkisar
bersama illahnya atau sebabnya”.
Kaedah ini
bermaksud sesuatu hukum itu atau hukum yang ada itu disebabkan ada illahnya
atau sebabnya. Lantaran itu sekiranya illah itu hilang, maka
tidak berlakulah hukum tersebut. Contohnya, diharamkan arak disebabkan illahnya
yang memabukkan, apabila illahnya hilang atau tidak ada lagi, maka pada
saat itu ia tidak diharamkan, seperti arak tersebut telah bertukar menjadi
cuka. Contoh lainnya, jus anggur atau nira apabila ia bertukar menjadi arak maka
hilanglah kehalalannya
ينزل المجهول
منزلة المعدوم
Artinya : ”Kedudukan
perkara yang tidak diketahui itu sama dengan kedudukan yang tidak ada”.
Kaedah ini
dibawa oleh Ibn Rajib al- Hanbali dalam kitab Taqrir al-Qawaid wa Tahrir
al-Fawaid. Ia bermaksud apa yang tidak diketahui atau majhul kedudukan serta tarafnya
sama dengan taraf apa yang tidak ada. Contohnya, barang temuan atau harta yang
ditemui tercicir selepas waktu haul atau masanya, ia menjadi milik orang
yang menemuinya atas dasar tidak diketahui pemilik asalnya. Apa-apa yang tidak
dapat dimiliki dari barangan temuan pula, hendaklah disedekahkan menurut
pendapat yang tepat.
اَلتّسْهِيْلُ فِى مَوَاضِعِ الضَّرُوْرَةِ وَالبَلْوى العَا مَّةِ
Artinya: “ memudahkan itu adalah di tempat darurat dan
dipekerjaan-pekerjaan yang umum berlakunya.”[14]
Kaidah ini
merupakan salah satu dari kaidah-kaidah ulama Hanafiyah. Dari kaidah ini dapat
dipahami bahwa adanya kemudahan itu hanya pada waktu keadaan darurat, dan
pekerjaan/perbuatan itu yang biasanya dilakukannya. Dengan demikian menurut
kaidah ini apabila perbuatan/pekerjaan itu biasa dilakukan maka tidak boleh
menggunakan keringanan (rukhsah)
tersebut. Contohnya seseorang yang ingin memperbanyak ibadah shalat, sehingga
ia sampai tidak dapat memenuhi hak-hak keluarganya, dan keadaan demikian
menimbulkan kerugian bagi pihak lain lantaran kita melampaui batas, maka
perbuatan seperti itu sesuai dengan kaidah ini tidak boleh mengambil rukhsah.
الرُّخَصُ تُنَا طُ بِالشَّكِّ
Artinya: “keringanan (rukhsah)
itu tidak dihubungkan / dikaitkan dengan yang syak (keragu-raguan).”[15]
Contohnya
dibolehkan menyapu sepatu (khuf) bagi
orang yang berwudhu bila benar-benar kedua kakinya masih bersih dan telah
dicuci sebelum memasukkannya kedalam sepatu tersebut. Namun apabila diragukan
sucinya kedua kaki tersebut, maka yang demikian ini tidak boleh adanya rukhsah.
III.
KESIMPULAN
Al-Masyaqqah menurut bahasa
(etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan,
dan kesukaran. Sedang Al-Taysir
secara etimologis berarti kemudahan. Jadi makna kaidah tersebut adalah
kesulitan menyebabkan adanya kemudahan.
Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penarapannya menimbulkan
kesulitan dan kesukaran bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga syariah
meringankannya sehingga mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan
kesukaran. Klasifikasi Kesulitan menurut Dr.
Wahbah az-Zuhaili dibagi menjadi 2, yaitu:
- Kesulitan Mu’tadah
- Kesulitan ghairu Mu’tadah
Macam
sebab-sebab yang menyebutkan kesulitan : Karena safar (bepergian), Keadaan
sakit, Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya, Lupa
(al nisyam), Karena Jahl (Bodoh), Karena, Usrun dan Umumul Balwa (Kesulitan),
Karena Naqsh (Kekurangan).
Keringanan
atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya ada tujuh macam menurut ulama mazhab Hanafi sebagaimana yang dijelaskan
oleh Ibn Nujaym, yaitu : Takhfif isqath/rukhsah
isqath, Takhfif tanqish, Takhfif abdal, Takhfif taqdim, Takhfif ta’khir,
Takhfif tarkhis, Takhfif taghyir.
Sedangkan Ulama mazhab Syafi’i membagikan rukhsah kepada
lima bagian, yaitu: Rukhsah wajib, rukhsah sunah, rukhsah mubah, rukhsah khilaf
al-aula, dan rukhsah makruh.
DAFTAR PUSTAKA
Ab. Latif Muda
& Rosmawati Ali. 2000. Perbahasan Kaedah-kaedah Fiqh. Kuala Lumpur:
Pustaka Salam Sdn
Abdul
Mudjib. 2001. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh
(al-Qowa’idul fiqhiyyah). Cet.2. Jakarta: Kalam Mulia
Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Rilis Grafika, 2009).
Imam Musbikin. 2001. Qawaid Al-
Fiqhiyah, Cet.I. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Muchlis Usman, MA. 2002. Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam.cet.4.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Saadan
Man.1994. Doktrin Masyaqqah dan Hukum Keringanan Menurut Prinsip Islam. Jilid
2
Sumber Online:
[3] Man, Saadan. 1994. Doktrin
Masyaqqah dan Hukum Keringanan Menurut Prinsip Islam. Jilid 2, h.18
[4] Musbikin,
Imam. Qawaid Al- Fiqhiyah, Cet.I,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h.83-84
[5]
Ibid
[6] http://www.abdulhelim.com/2012/05/kaidah-asasiyah-tentang-al-masyaqqah.html, diakses pada
tanggal 25 Februari 2014, pukul 13:40 WITA
[7] Musbikin, Imam, Op.Cit, h.85
[8] Usman, Muchlis. 2002.
Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum
Islam.cet.4. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada). h.126
[10]
http://raudhahal-ilm.blogspot.com/2011/03/masyaqqah-tajlibu-al-taisir.html,
diakses
pada tanggal 25 Februari 2014, pukul 14:03 WITA
[12] Mudjib, Abdul , Kaidah-kaidah
Ilmu Fiqh (al-Qowa’idul fiqhiyyah). Cet.2. (Jakarta: Kalam Mulia, 2001),
h.33
[13]Ali Rosmawati,
Ab. Latif Muda. Perbahasan Kaedah-kaedah Fiqh. (Kuala Lumpur: Pustaka
Salam Sdn), 2000, h.139
[15] Ibid, h.91
No comments:
Post a Comment