BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Secara konseptual, beribadah menurut syar’i termasuk di dalamnya melaksanakan
hukum-hukum yang di ajarkan oleh Islam merupakan kewajiban yang bersifat
individual dan kelompok.
Sejak masuknya Islam di nusantara ini, penerapan hukum Islam telah
dilakukan sedikit demi sedikit bahkan secara bertahap dalam kehidupan sehari-hari
umat Islam. Dalam bentuk yurisprudensi, nilai-nilai Islam telah mempengaruhi
hukum-hukum di Indonesia. Seperti, penerapan hukum Islam yang menjadi perhatian
Pemerintah dan DPR melalui fungsi legislasinya. Kita lihat saja UU No. 1 tahun
1974, tentang Perkawinan, UU No. 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, UU
No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 41 tahun 2004 tentang
Wakaf.
Berdasarkan data yang ada, pada umumnya wakaf di Indonesia
diserahkan untuk masjid, musholla, sekolah, rumah yatim piatu, makam dan
sedikit sekali tanah wakaf yang di kelola secara produktif dalam bentuk usahha
yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan termasuk
fakir miskin[1].
Oleh sebab itu, perlunya peranan penting seorang nazhir dalam mengurus
harta wakaf agar upaya dalam mengelola perwakafan dapat berjalan maksimal.
B.
Rumusan Masalah
Pembahasan
dalam makalah ini mengenai Nazhir dan tugas-tugasnya diidentifikasi melalui
masalah sebagai berikut:
1.
Apakah definisi nazhir dan kualifikasi menjadi seorang nazhir?
2.
Apa sajakah syarat-syarat menjadi nazhir dalam perundang-undangan?
3.
Apa sajakah hak dan kewajiban nazhir, serta bagaimanakah
pengangkatan dan pemberhentian seorang nazhir?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan utama penulisan makalah ini, untuk mengetahui bagaimanakah
peran seorang nazhir dalam perwakafan serta agar makalah ini menjadi tambahan
wawasan bagi pembaca khususnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Dan Kualifikasi Nazhir
Nazhir berasal dari kata kerja
bahasa Arab nazhara, yang mempunyai arti menjaga, memelihara, mengelola
dan mengawasi. Adapun nazhir adalah isim fa’il dari kata nazhara
yang kemudian dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pengawas. Nadzir wakaf adalah orang atau badan
hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai
dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut.
Sedangkan
menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 pasal 1 ayat (4) tentang wakaf
menjelaskan bahwa Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari
wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Pengertian ini kemudian di Indonesia dikembangkan menjadi
kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas untuk memelihara dan
mengurus benda wakaf.
Dari pengertian nazhir yang telah
dikemukakan di atas, nampak bahwa dalam perwakafan, nazhir memegang peranan
yang sangat penting. Agar harta itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan
dapat berlangsung terus-menerus, maka harta itu harus dijaga, dipelihara, jika
mungkin dikembangkan.[2]
Posisi Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan
mengurusi harta wakaf. Sedemikian pentingnya kedudukan Nazhir dalam perwkafan,
sehingga berfungsi tidaknya wakaf sebagai mauquf’alaih
sangat bergantung pada Nazhir wakaf. Para ulama sepakat bahwa kekuasaan Nazhir
wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan
tujuan wakaf yang dikehendaki wakif.
Nazhir sebagai pihak yang berkewajiban mengawasi dan memelihara
wakaf tidak boleh menjual, menggadaikan atau menyewakan harta wakaf kecuali di ijinkan oleh pengadilan. Ketentuan
ini sesuai dengan masalah kewarisan dalam kekuasaan kehakiman yang memiliki
wewenang untuk mengontrol kegiatan Nazhir.[3]
Para Imam Mazhab sepakat pentingnya Nazhir memenuhi syarat adil dan
mampu. Menurut jumhur ulama, maksud “adil” adalah mengerjakan yang
diperintahkan dan menjauhi yang dilarang menurut Syari’at Islam. Sedangkan
maksud kata “mampu” berarti kekuatan dan kemampuan seseorang mengelola apa yang
di jaganya.[4]
Kualifikasi profesionalisme Nazhir secara umum dipersyaratkan
menurut fikih sebagai berikut, yaitu : beragama Islam, mukallaf (memiliki
kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum), baligh, dan ‘aqil (berakal sehat), memiliki
kemampuan dalam mengelola wakaf (profesional) dan memiliki sifat amanah, jujur
dan adil.[5]
B.
Syarat-Syarat Menjadi Nazhir Dalam Perundang-Undangan
Selain syarat dan rukun harus dipenuhi dalam perwakafan, kehadiran
nazhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam mengelola harta wakaf
sangatlah penting. Para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf,
baik yang bersifat perseorangan maupun kelembagaan.
Para ahli fiqh, menetapkan, syarat- syarat yang luwes (pantas dan
tidak kaku), seperti hendaklah orang yang pantas dan layak memikul tugasnya.
Mengingat salah satu tujuan wakaf ialah menjadikannya sebagai sumber dana yang produktif, tentu memerlukan Nazhir yang
mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara professional dan bertanggung jawab.
Apabila Nazhir tidak mampu melaksanakan tugasnya, maka Qadhi
(Pemerintah) wajib menggantinya dengan tetap menjelaskan alasan-alasannya.[6]
Dalam Bab I Pasal I poin 4 Undang – undang Republik Indonesia No.
41 tahun 2004 tentang wakaf, Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda
wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Di dalam Undang-Undang No.41 Tahun
2004 tentang Wakaf, Bagian Kelima pasal 9, dijelaskan bahwa nazhir meliputi:
1. Perseorangan
2. Organisasi
3. Badan
hukum.
Di
dalam pasal 10 ayat 1 disebutkan, perseorangan yang dimaksud dalam pasal 9, hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi
persyaratan:
1. Warga
negara Indonesia
2. Beragama
Islam
3. Dewasa
4. Amanah
5. Mampu
secara jasmani dan rohani
6. Tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum.
Di
dalam ayat 2 disebutkan, organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, hanya
dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:
1. Pengurus
organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
2. Organisasi
yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan
Islam.
Ayat
3 menyebutkan, badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, hanya dapat
menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:
1. Pengurus
badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
2. Badan
hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
3. Badan
hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan,
dan/atau keagamaan Islam.
Dalam
pasal 11 disebutkan, nazhir mempunyai tugas:
1. Melakukan
pengadmistrasian harta benda wakaf;
2. Mengelola
dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan
peruntukannya;
3. Mengawasi
dan melindungi harta benda wakaf;
4. Melaporkan
pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Pasal
12 menyebutkan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11,
nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh
persen).
Pasal
13 menyebutkan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11,
nazhir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Dalam pasal
14 ayat 1 disebutkan, dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal
13, nazhir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Dalam ayat 2
disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai nazhir sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13 dan pasal 14 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.[7]
Ada
persyaratan umum lain bagi nazhir, yaitu:
1. Nazhir
adalah pemimpin umum dalam wakaf. Oleh karena itu nazhir harus berakhlak mulia,
amanah, berpengalaman, menguasai ilmu administrasi dan keuangan yang dianggap
perlu untuk melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan jenis wakaf dan
tujuannya.
2. Nazhir
bisa bekerja selama masa kerjanya dalam batasan undang-undang wakaf sesuai
dengan keputusan organisasi sosial dan dewan pengurus. Nazhir mengerjakan tugas
harian yang menurutnya baik dan menentukan petugas-petugasnya, serta punya
komitmen untuk menjaga keutuhan harta wakaf, meningkatkan pendapatannya,
menyalurkan manfaatnya. Nazhir juga menjadi utusan atas nama wakaf terhadap
pihak lain ataupun di depan mahkamah (pengadilan).
3. Nazhir
harus tunduk kepada pengawasan Kementerian Agama dan Badan Wakaf Indonesia, dan
memberikan laporan keuangan dan administrasi setiap seperempat tahun minimal,
tentang wakaf dan kegiatannya.
4. Nazhir
bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian atau hutang yang timbul dan
bertentangan dengan undang-undang wakaf.[8]
C.
Hak dan Kewajiban Nazhir
Di dalam Peraturan Pemerintah dan
juga Peraturan Menteri Agama disebutkan beberapa pasal dan ayat mengenai hak
dan kewajiban nazhir, di antaranya[9]:
Kewajiban nazhir :
1. Mengurus
dan mengawasi harta wakaf, yaitu:
a. menyimpan
lembar kedua salinan akta ikrar
b. memelihara
tanah wakaf
c. memanfaatkan
tanah wakaf
d. memelihara
dan berusaha meningkatkan hasil wakaf
e. menyelenggarakan
pembukuan wakaf, yaitu:
1) buku
tentang keadaan tanah wakaf
2) buku
tentang pengelolaan dan hasil
3) buku
tentang penggunaan hasil (pasal 7 ayat 1 PP, pasal 10 ayat 1 PMA).
2. Memberikan
laporan kepada KUA Kecamatan, yaitu:
a. hasil
pencatatan wakaf tanah milik oleh pejabat agrarian
b. perubahan
status tanah dan perubahan penggunaannya.
c. pelaksanaan
kewajiban nazhir pasal 20 ayat 1 PP setiap tahun sekali pada akhir bulan
Desember.
3. Melaporkan
anggota nazhir yang berhenti dari jabatan
4. Mengusulkan
anggota pengganti kepada Kepala KUA Kecamatan tempat tanah wakaf berada, untuk
disahkan keanggotaannya[10].
Semua ini dilakukan untuk memudahan
koordinasi dan pengawasan, dan oleh sebab itu nazhir berhak mendapatkan
penghasilan dan fasilitas yang wajar atas usaha dan jerih payahnya (pasal 8 PP)
untuk menghindari penyalahgunaan tujuan wakaf.
Hak
nazhir sesuai ketentuan pasal 11 PMA adalah[11]:
1. Menerima
hasil tanah wakaf dengan tidak melebihi dari 10% hasil bersih
2. Menggunakan
fasilitas dan hasil tanah wakaf sepanjang diperlukan.
D.
Pengangkatan dan Pemberhentian Nazhir
1. Pengangkatan
Nazhir
Selanjutnya
dalam proses pengangkatan Nazhir hendaklah diketahui oleh seorang nazhir
haruslah memiliki kepribadian yang baik. Hal ini tentu menjadi tolak ukur ke
depannya dalam memantau proses dan eksistensi benda wakaf itu sendiri. Tidak
bisa dipandang sebelah mata bahwa berbagai permasalahan di bidang wakaf
disebabkan oleh karena nazhir yang ‘kurang’ bekerja secara profesional.
Keberadaan
nazhir diperlukan dalam pengelolaan wakaf. Nazhir dan lembaga pengelolaan wakaf
sebagai ujung tanduk pengelolaan dan pengembangan harta wakaf. Sebelum menjadi
nazhir tentunya ada beberapa karakteristik khusus yang menjadi kualifikasi
dalam penetapannya. Nazhir harus didaftar pada kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat dan Majelis Ulama
Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
Sebelum
melaksanakan tugasnya, Nazhir harus mengucapkan sumpah dihadapan Kepala Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 saksi dengan
isi sumpah sebagai berikut[12]
:
“Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat
menjadi nazhir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dengan dalih apa
pun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada
siapapun juga”.
“Saya
bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapa pun juga suatu janji atau pemberiaan”.
Sedangkan jumlah Nazhir
diperbolehkan untuk satu unit perwakafan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang
dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
2. Pemberhentian
Nazhir dan Penggantiannya
Dalam
prosesnya, Nazhir pula dapat diberhentikan. Nazhir diberhentikan oleh Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan karena :
a. Meninggal
dunia
b. Atas
permohonan sendiri
c. Tidak
dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai nazhir
d. Melakukan
suatu kejahatan sehingga dipidana.
Bilamana terdapat lowongan jabatan
nazhir karena salah satu alasan diatas maka penggantinya diangkat oleh Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat
setempat. Sedangkan seorang nazhir yang telah berhenti disebabkan karena
meninggal dunia (tidak dengan sendirinya) maka digantikan oleh salah seorang
ahli warisnnya. Menurut peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2006 pasal 14 ayat
(1)-(2) ketentuan mengenai masa bakti nadzir ialah:
a. Masa
bakti nadzir perseorangan adalah lima tahun dan dapat di angkat kembali.
b. Pengangkatan
kembali nadzir dilakukan oleh BWI dengan syarat nadzir telah melaksanakan
tugasnya dengan baik sesuai ketentuan prinsip syari’ah dan peraturan
perundang-undangan.[13]
E.
Nazhir Profesional
Kehadiran
nazhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam pengelolaan harta wakaf
sangatlah penting. Walaupun para mujtahid sepakat tidak menjadikan nazhir
sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus
menunjuk nazhir wakaf, baik yang bersifat perseorangan maupun kelembagaan
(badan hukum). [14]
Pada
dasarnya siapapun dapat menjadi nazhir sepanjang ia bisa melakukan tindakan
hukum. Akan tetapi karena tugas nazhir menyangkut harta benda yang manfaatnya
harus disampaikan kepada pihak yang berhak menerimanya, jabatan nazhir harus
diberikan kepada orang yang memang mampu menjalankan tugas tersebut. Untuk
lebih jelasnya, persyaratan nazhir wakaf profesional itu dapat diungkapkan
sebagai berikut:
1. Syarat
moral, meliputi:
a. Paham
tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’ah maupun perundang-undangan
negara RI.
b. Jujur,
amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan
pentasharrufan kepada sasaran wakaf.
c. Tahan
godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha.
d. Pilihan,
sungguh-sungguh dan suka tantangan.
e. Punya
kecerdasan, baik emosional maupun spiritual.
2. Syarat
manajemen, meliputi:
a. Mempunyai
kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership.
b. Visioner.
c. Mempunyai
kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial dan pemberdayaan.
d. Profesional
dalam bidang pengelolaan harta.
e. Ada
masa bakti nazhir.
f. Memiliki
program kerja yang jelas.
3. Syarat
bisnis, meliputi:
a. Mempunyai
keinginan.
b. Mempunyai
pengalaman dan atau siap untuk dimagangkan.
c.
Punya ketajaman melihat peluang
usaha sebagaimana layaknya entrepreneur[15].
Sebagai nazhir harus memenuhi
syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas sehingga mampu melaksanakan tugas
dan kewajibannya dalam mengelola wakaf dengan maksimal dan optimal sesuai
dengan harapan para wakif secara khusus dan kaum muslimin secara umum. Sehingga
pengalaman-pengalaman pengelolaan harta wakaf yang tidak produktif seperti yang
terjadi pada masa lalu tidak terulang lagi.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Tujuan terbentuknya nazhir
profesional pada dasarnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Meningkatkan
kelayakan produksi harta wakaf hingga mencapai target ideal untuk memberi
manfaat sebesar mungkin bagi tujuan wakaf dengan cara meningkatkan hasilnya
dengan berusaha memperoleh sebesar mungkin hasil produksi dan investasi wakaf.
2. Melindungi
pokok-pokok harta wakaf dengan mengadakan pemeliharaan dan penjagaan yang baik
dalam menginvestasikan harta wakaf dan mengurangi resiko investasi.
3. Melaksanakan
tugas distribusi hasil wakaf dengan baik, berdasar pernyataan wakif dalam akte
wakaf dan berdasar pendapat fikih dalam kondisi wakaf hilang aktenya dan tidak
diketahui tujuannya.
4. Berpegang
teguh pada syarat-syarat wakif baik berkenaan dengan jenis investasi dan
tujuannya maupun dengan tujuan wakaf, pengenalan obyek dan batasan tempatnya
atau bentuk kepengurusan dan seluk-beluk cara nazhir bisa menduduki posisinya.
5. Memberikan
penjelasan kepada para dermawan dan mendorong mereka untuk melakukan wakaf baru
dan secara umum memberi penyuluhan dan menyarankan pembentukan wakaf baru baik
secara lisan maupun dengan memberi contoh keteladanan.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Farid, Wadjdy dan Mursyid. 2007. Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat (Filantropi
Islam yang Hampir Terlupakan). Cet.1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Panduan Wakaf.
2010. Jakarta: Majelis Wakaf dan ZIS PP. Muhammadiyah.
Qahaf,
Mundzir. 2008. Manajemen Wakaf Produktif. Jakarta: Khalifa.
Tim Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Depag RI. 2007. Fiqih Wakaf. Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen
Agama.
_______ 2007. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta : Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam Departemen Agama.
Undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaannya, Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi
Pendaftaran Wakaf Uang. 2009. Jakarta: Dirjen
Bimas Islam Depag RI.
Wadjdy, Farid dan Mursyid. 2007. Wakaf
dan Kesejahteraan Umat (filantropi Islam yang hampir terlupakan).Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sumber Online:
[1] Wadjdy, Farid dan
Mursyid, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat
(Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan), Cet.1, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), h.1-3
[2] Lihat Panduan
Wakaf, (Jakarta: Majelis Wakaf dan
ZIS PP. Muhammadiyah, 2010), h.25-26
[3]Tim Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI. Fiqih
Wakaf. (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, 2007). h.69-70
[4]Tim Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI. Paradigma
Baru Wakaf di Indonesia. (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen
Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI,2007).h.51
[5] Ibid., h.117
[7]Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya, Peraturan Menteri Agama
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang, (Jakarta: Dirjen
Bimas Islam Depag RI, 2009), h.7-9.
[8]
Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf
Produktif. (Jakarta: Khalifa,
2008), h. 171-172.
[9]http://bwi.or.id/index.php/artikel/740-standarisasi-dan-profesionalisme-nazhir-di-indonesia, diakses pada
tanggal 2 Maret 2014, pukul 14:38 WITA.
[12]http://jalanbaru92.blogspot.com/2012/01/pengangkatan-nazhir-syarat-dan-prosedur.html,
diakses pada
tanggal 2 Maret 2014, pukul 13:10 WITA.
[14] Paradigma
Baru Wakaf di Indonesia, Op.Cit, h.116
[15] Lihat Eri Sudewo
dalam Wadjdy, Farid dan Mursyid, Op.Cit, h.160
[16] Mundzir, Qahaf, Op. Cit, h.321-322
tulisan yang bagus . . . .
ReplyDeletesalam