IDENTITAS
NASIONAL
Bab
I
Pendahuluan
1. Latar
Belakang
Situasi
dan kondisi masyarakat kita dewasa ini menghadapkan kita pada suatu
keprihatinan dan sekaligus juga mengundang kita untuk ikut bertanggung jawab
atas mozaik Indonesia yang retak, bukan sebagai ukiran, melainkan membelah dan
meretas jahitan busana tanah air, tercabik – cabik dalam kerusakan yang
menghilangkan keindahannya. Untaian kata – kata dalam pengantar sebagaimana
tersebut merupakan tamsilan bahwa Bangsa Indonesia yang dahulu dikenal sebagai “het zaschte colk teraarde” dalam
pergalan antar bangsa, kini sedang mengalami tidak saja krisis identitas,
melainkan juga krisis dalam berbagai dimensi kehidupan yang melahirkan
instabilitas yang berkepanjangan semenjak reformasi digulirkan pada tahun 1998
Koento Wibisono, 2005).
Krisis
moneter yang kemudian disusul krisis ekonomi dan politik yang akar-akarnya
tertananm dalam krisis moral an menjalar kedalam krisis budaya, menjadikan
masyarakat kita kegilangan orientasi nilai, hancur dan kasar, gersang dalam
kemiskinan budaya dan kekeringan spiritual. Societal
terorism muncul dan berkembang disana-sini dalam fenomena pergolakan fisik,
seperti pembakaran dan penjarahan yang disertai dan pembunuhan sebagaimana
terjadi di Poso, Ambon, dan bom bunuh diri diberbagai tempat yang disiarkan
secara luas, baik oleh media massa didalam maupun luar negri. Semenjak
peristiwa pergolakan antaretnis di Kalimantan Barat, Bangsa Indonesia di forum
Internasional dilecehkan sebagai bangsa yang telah kehilangan peradabannya.
Kehalusan
budi, sopan santun dalam sikap perbuatan, kerukunan, toleransi dan solidaritas
sosial, idealisme, dan sebagainya telah hilang karena hanyut dilanda oleh
derasnya arus medernisasi dan globalisasi yang penuh paradoks. Berbagai lembaga
kocar-kacir dalam malfungsi dan disfungsi. Trust
atau kepercayaan antar sesama, baik vertikal maupun horizontal, telh lenyap
dalam kehidupan bermasyarakat. Identitas Nasional kita dilecehkan dan dipertanyakan
eksistensinya.
Krisis
multidimensi yang sedang melanda masyarakat kita menyadarkan kita semua bahwa
pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan Identitas Nasional kita
tlah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh
para pendiri negara kita dalam Pembukaan UUD 1945 yang intinya adalah memajukan
kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, secara konstutisional pengembangan
budaya untukmembina dan mengembangkan identitas Nasional telah diberi dasar dan
arah.
2. Rumusan Masalah
1.
Apakah Pengertian Identitas Nasional ?
2.
Apakah Unsur - unsur Pembentuk identitas nasional?
3.
Apakah keterkaita identitas nasional dan
globalisasi?
4.
Apakah pengertian Globalisasi?
3. Tujuan
Tujuan dari makalah
ini adalah agar dapat mengetahui Penjelasan tentang identitas nasional dan
globalisasi secara lebih luas.
Bab II
Landasan Teori
1.
Identitas
Nasional
Kata
Identitas
berasal dari bahasa Inggris, yaitu identitiy, yang memiliki pengertian
harafiah ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang
atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Dalam term antropologi, identitas adalah
sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri,
golongan sendiri, atau negara sendiri. Mengacu pada pengertian ini, identitas
tidak terbatas pada individu semata, tetapi berlaku pada suatu kelompok. Sementara
itu, kata “nasional” merupakan identitas yang melekat pada kelompok-kelompok
yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya,
agama, dan bahasa maupunnonfisik seperti keinginan, cita-cita, dan tujuan.
Himpunan kelompok inilah yang kemudiaan disebut dengan istilah identitas bangsa
atau identitas nasional yang pada akhirnya melahirkan tindakan kelompok (collective action) yang diwujudkan
dalam bentuk organisasi ataupergerakan-pergerakan yang diberi atribut-atribut
nasional. Kata nasional sendiri tidak bisa dipisahkan dari kemunculan konsep
nasionalisme.
Bila
dilihat dalam konteks Indonesia, identitas nasional merupakan manifestasi
nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan
dari ratusan suku yang dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi
kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya.
- Muatan dan Unsur-Unsur Identitas Nasional
ΓΌ Muatan Unsur-unsur Identitas Nasional
Jika
berbicara mengenai muatan identitas nasional, dapat digambarkan sebagai
berikut.
Dari
gambaran tersebut diatas bisa dikatidentitas nasional merupakan pandangan hidup
bangsa akan bahwa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai
ideologi negara sehingga mempunyai kedudukn paling tinggi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, termasuk disini adalah tatanan hukum yang berlaku di
Indonesia.
Dalam
arti lain juga sebagai dasar negara yang merupakan norma peraturan yang harus
dijunjung tinggi oleh semua warga tanpa kecuali rule of law, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban warga negara,
demokrasi, serta hak asasi manusia yang berkembang semakin dinamis di
Indonesia. Hal inilah akhirnya menjadi etika politik yang kemudian dikembangkan
menjadi konsep geopolitik dan geostrategi ketahanan nasional di Indonesia.[1]
4. Parameter Identitas Nasional
Parameter Identitas Nasional adalah suatu ukuran atau patokan yang
dapat digunakan menyatakan sesuatu
adalah menjadi ciri khas suatu bangsa. Sesuatu yang diukur adalah unsur suatu
identitas seperti kebudayaan yang menyangkut norma, bahasa, adat istiadat dan
teknologi, sesuatu yang alami atau ciri khas yang sudah seperti geografis.
Sesuatu yang terjadi dalam suat masyarakat dan mencari ciri atau identitas
nasional biasanya mempunyai indikator sebagai berikut:
1. Identitas nasional menggambarkan pola perilaku yang terwuud melalui
aktiviytas masyarakat sehari -harinya. Identitas ini menyangku adt-istiadat
tata kelakuan, dan kebiasaan. Ramah tamah, hormat kepada orang tua , dan gotong
royong merupakan salah satu identitas nasional yang bersumber dari adat -
istiadat dan tata kelakuan.
2. Lambang- lambang yang merupakan ciri dari bangsa dan secara simbol
menggambarkan tujuan dan fungsi bangsa. Lambang-lambang negara ini biasanya
dinyatakan dalam undang-undang seperti Garuda Pancasila , Bendera, bahasa, dan
lagu kebangsaan.
Alat-alat pelengkap yang digunakan untuk mencapai tujuan seperti
pembangunan, teknologi, dan peralatan manusia. Identitas yang berasal dari alat
perlengkapan ini seperti bangunan yang merupakan tempat ibadah , peralatan
manusia, dan teknologi.[2]
c.
Unsur-unsur Identitas
Nasional
Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu
bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu merupakan gabungan unsur-unsur pembentuk
identitas, yaitu sebagai berikut.
1. Suku Bangsa:
golongan sosia yang khusus yang bersifat akspiratif (ada sejak lahir), yang
sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat
banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang dri tiga
ratus dialek bahasa.
2. Agama:
bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang agamis. Agama-agama yang tumbuh
dan berkembang dinusantara adalah agama Islam, Kristen, Katholik. Hindu, Budha
dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa orde baru tidak diakui sebagai agama
resmi negara, namun semenjak pemerintaha Presiden Abdurrahman Wahid, istilah
agama resmi negara dihapuskan.
3. Kebudayaan:
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya padalah
perangkat-perangkat atau model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh
pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi
dan digunakan sebagai rujukanatau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk
kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
4. Bahasa:
unsur pendukung Identitas Nasional yang lain. Bahasa dipahami sebagai sistem
perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia
dan digunakan sebagai sara berinteraksi antarmanusia.
Dari
segi unsur-unsur identitas nasional tersebut diatas, dapat dirumuskan
pembagiannya menjadi tiga bagian
berikut.
1)
Identitas Fundamental, yaitu
Pancasila yang merupakan falsafah bangsa, dasar negara dan ideologi negara.
2)
Identitas Instrumental, yaitu
berisiUUD 1945dan tata perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara,
Bendera Negara, Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”.
3)
Identitas Alamiah, yaitu
meliputi negara kepulauan (archipelago) dan pluralisme dalam suku, bahasa,
budaya dan agama serta kepercayaan (agama).[3]
d.Unsur - unsur Pembentuk Identitas Nasional
Identitas nasioanl Indonesia pada saat ini terbentuk dari enam unsur yaitu
:
1.Unsur Sejarah
Bangsa Indonesia mengalami kehidupan dalam beberapa situasi dan kondisi
sosial yang berbeda sesuai sesuai perubahan jaman. Bangsa Indonesia secara
ekonomis dan politik pernah mencapai era kejayaan diwilayah Asia Tenggara.
Kejayaan dalam bidang ekonomi bangsa Indonesia pada era pemerintahan kerajaan
Majapahit dan Sriwijaya, rakyat mengalami kehidupan ekonomi yang sejahtera,
sedangkan dalam bidang politik memiliki kekuasaan negara hingga seluruh wilayah
nusantara yang meliputi wilayah jajahan Belanda hingga wilayah negara Filipina,
Singapura, Malaysia, bahkan sebagiian wilayah Thailand. Namun, kejayaan ini
mengalami keruntuhan akibat menghilangnya jiwa kebersamaan (persatuan dan
kesatuan) diantara bangsa dalam pemerintahan Majapahit dan Sriwijaya tersebut.
Keruntuhan pemerintahan Majapahit dan Sriwijaya ini berimplikasi pada
terciptanya pemerintahan kerajaan di masing-masing daerah di seluruh wilayah
Indonesia. Sistem pemerintahan kerajaan ini menyebabkan bangsa Indonesia
menjadi semakin lemah untuk menghadapi ancaman, tantangan,hambatan dan gangguan
dari negara lain yang ingin mencari sumber energi baru bagi negaranya. Ketidakmampuan
bangsa Indonesia ini pada akhirnya menyebabkan bangsa Indonesia jatuh ke tangan
negara-negara kolonial (penjajah). Sebagaimana kita ketahui negara yang
menjajah bangsa Indonesia adalah Belanda, Portugis, dan Jepang. Ketiganya
masing-masing menjajah kita selama 350 tahun, 400 tahun, dan 3,5 tahun.
Perjuangan demi perjuangan bangsa Indonesia di atas pada akhirnya
menjadi suatu nilai yang mengkristal dalam jiwa bangsa Indonesia bahwa
identitas nasional Indonesia adalah bangsa Pejuang.
2.Kebudayaan
Aspek kebudayaan yang menjadi unsur pembentuk identitas nasional adalah
melliputi tiga unsur yaitu :
1. Akal Budi
Adalah sikap dan perilaku yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam interaksinya antara pimpinan dengan staf,
anak dengan orang tua (vertikal), atau sebaliknya. Bentuk sikap dan perilaku
sebagaimana yang tersebut di atas, adalah hormat-menghormati antarsesama, sopan
santun dalam sikap dan tutur kata, dan hormat pada orang tua.
2. Peradaban (civility)
Peradaban yang menjadi
identitas nasional bangsa Indonesia adalah dapat dilihat dari beberapa aspek
yang meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi,sosial, dan hankam. Identitas
nasional dalam masing-masing yang dimaksud adalah :
1) Ideologi adalah sila-sila
dalam Pancasila , 2) Politik adalah demokrasi langsung dalam pemilu
langsung presiden dan wakil presiden serta kepala daerah tingkat I dan tingkat
II kabupaten/kota, 3) Ekonomi adalah usaha kecil dan koperasi, 4) Sosial adalah semangat
gotong royong, sikap ramah tamah, murah senyum, dan setia kawan, dan 5) Hankam
adalah sistem keamanan lingkungan (siskamling),sisitem perang gerilya, dan
sebagainya.
3. Pengetahuan
(knowledge)
Pengetahuan yang menjadi unsur
pembentuk identitas nasional misalnya: 1) Prestasi anak bangsa dalam
bidang olahraga bulutangkis dunia. 2) Karya anak bangsa dalam bidang
teknologi pesawat terbang, seperti pembuatan pesawat terbang CN 235, di IPTN
BandungJawa Barat , dan sebagainya.
3. Budaya Unggul
Budaya unggul adalah semangat dan kultur kita untuk mencapai kemajuan
dengan cara "kita harus bisa, kita harus berbuat terbaik, kalau orang lain
bisa, mengapa kita tidak bisa". Dalam UUD 1945, menyatakan bahwa bangsa
Indonesia berjuang dan mengembangkan dirinya sebagai bangsa yang merdeka,
berdaulat, bersatu, maju, makmur serta adil atau berkesejahteraan. Untuk
mencapai kualitas hidup demikian, nilai kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan
dijadikan landasan ideologis yang secara ideal dan normatif diwujudkan secara
konsisten, konsekuen, dinamis, kreatif, dan bukan indoktriner.
4. Suku Bangsa
Identitas nasional dalam aspek suku bangsa adalah adanya suku bangsa
yang majemuk (aneka ragam). Majemuk atau aneka ragamnya suku bangsa dimaksud
adalah terlihat dari jumlah suku bangsa lebih kurang 300 suku bangsa dengan
bahasa dan dialek yang berbeda.
5. Agama
Identitas nasional dalam aspek agama adalah masyarakat agamis dan
memiliki hubungan antarumat seagama dan antarumat beragama yang rukun.
6. Bahasa
Bahasa adalah salah satu atribut bangsa di samping sebagai identitas
nasional. Bahasa indonesia dikenal sebagai bahasa melayu yang merupakan bahasa
penghubungg (lingua franca) berbagai etnis yang mendiami kepulauan nusantara.
Bahasa Melayu ini pada tahun 1928 ditetapkan oleh pemuda dari berbagai suku
bangsa Indonesia dalam peristiwa Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan bangsa
Indonesia.[4]
3.
Keterkaitan Globalisasi dengan Identitas Nasional
a.
Globalisasi
Adanya era globalisasi dapat berpengaruh terhadap
nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Era globalisasi tersebut telah datang dan
menggeser nilai-nilai yang telah ada. Nilai-nilai tersebut bersifat positif dan
negatif. Ini semua merupakan ancaman, tantangan, dan
sekaligus sebagai peluang bagi bangsa Indonesia untuk berkreasi dan berinovasi
disegala aspek kehidupan.
Di era globalisas, pergaulan antar bangsa semakin ketat.
Batas antarnegara hampir tidak ada artinya. Batas wilayah tidak lagi menjadi
penghalang. Didalam pergaulan antarbangsa yang semakin kental itu terjadi
proses akulturasi, saling meniru dan memengaruhi antara budaya masing-masing.
Hal ini yang perlu kita cermati pada proses akulturasi tersebut dapat
melunturkan tata nilai yang merupakan jati diri bangsa Indonesia. Lunturnya
nilai tersebut biasanya ditandai oleh dua faktor berikut.
1)
Semakin
menonjolnya sikap individualitas, yaitu mengutamakan kepentingan pribadi diatas
kepentingan umum. Hal ini bertentangan dengan asas gotong royong.
2)
Semakin
menonjolnya sikap materialistis yang berarti harkat dan martabat kemanusiaan
hanya diukur dari hasil keberhasilan seseorang dalam memperoleh kekayaan. Hal
ini bisa berakibat bagaimana cara memperolehnya menjadi tidak dipersoalkan
lagi. Bila hal ini terjadi, berarti etika dan moral telah dikesampingkan.
Arus
informasi yang semakin pesat mengakibatkan akses masyarakat terhadap
nilai-nilai asing yang negatif semakin besar. Apabila proses ini tidak segera
di bendung, akan berakibat lebih serius yang pada puncaknya mereka tidakbangga
pada bangsa dan negaranya.
Pengaruh
negatif akibat proses akulturasi tersebut dapat merongrong nilai-nilai yang
telah ada di dalam masyarakat kita. Jika semua ini tidak dapat dibendung, hal
tersebut akan mengganggu ketahanan disegala aspek bahkan mengarah kepada
kredibilitas sebuah ideologi. Untuk membendung arus globalisasi yang sangat
deras itu, kita harus berupaya menciptakan suatu kondisi (konsepsi) agar
ketahanan nasional dapat terjaga dengan cara membangun sebuah konsep
nasionalisme kebangsaan yang mengarah kepada konsep identitas nasional.
b.
Keterkaitan
Globalisasi dengan Identitas Nasional
Dengan adanya globalisasi, intensitas hubungan
masyrakat antara satu negara dengan negara lain menjadi semakin tinggi. Dengan
demekian,kecenderungan munculnya kejahatan yang bersifat transnasional menjadi
semakin sering terjadi. Kejahatan-kejahatan tersebut antara lain terkait dengan
masalah narkotika, pencucian uang (money
laundering), peredaran keimigrasian palsu, dan terorisme. Jika hal tersebut
tidak dapat dibendung, hal tersebut akan menggaggu ketahanan nasional disegala
aspek kehidupan, bahkan akan menyebabkan lunturnya nilai-nilai identitas
nasional.
4.
Keterkaitan Integritas Nasional Indonesia dan
Identitas Nasional
Masalah integrasi nasional di Indonesia sangat
kompleks dan multidimensi. Untuk mewujudkannya, diperlukan keadilan dan
kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku,
agama, bahasa, dan sebagainya.Pada akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa
inilah yang dapat menjamin telah terwujudnya negara yang makmur, aman dan
tentram. Jika melihat konflik yang terjadi di Aceh, Ambon, Kalimantan Barat dan
Papua, hal tersebut meupakan cerminan belum terjadinya integrasi nasional yang
diharapkan. Sementara itu, kaitannya dengan identitas nasional adalah adanya
integritas nasional dapat menguatkan agar identitas nasional yang saling
dibangun.
5.
Paham Nasionalisme Kebangsaan
Paham Nasional Kebangsaan
Dalam
situasi perjuangan perebutan kemerdekaan, dibutuhkan suatu konsep sebagai dasar
pembenaran rasional dari tuntunan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat
mengikat keikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa. Dasar pembenaran
tersebut, selanjutnya mengkristal dalam paham konsep ideologi kebangsaan yang
biasa disebut dengan nasionalisme. Dari sanalah kemudian lahir konsep-konsep
turunannya seperti bangsa (nation), negara
(state), dan gabungan keduanya yang
menjadi konsep negara-bangsa (nation-state)
sebagai komponen-komponen yang membentuk identitas nasional atau kebangsaan,
oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Paham
Nasionalisme atau Paham Kebangsaan adalah sebuah situasi kejiwaan dimana
kesetiaan seseorang secara total diabadikan langsung kepada negara bangsa atas
nama sebuah bangsa. Munculnya nasionalisme terbukti sangat efektif sebagai alat
perjuangan bersama merebut kemerdekaan dari cengkraman kolonial. Secara garis
besar, terdapat tiga pemikiran besar tentang nasionalisme di
Indonesia yang terjadi pada masa sebelum kemerdkaan, yaitu paham ke-Islaman,
Marxisme dan Nasionalisme Indonesia.
a.
Paham
Nasionalisme Kebangsaan sebagai paham yang mengantarkan pada konsep Identitas
Nasional
Paham Nasionalisme atau paham Kebangsaan terbukti
sangat efektif sebagai alat perjuangan bersama merebut kemerdekaan dari
cengkraman kolonial. Semangat nasionalisme dihadapkan secara efektif oleh para
penganutnya dan dipakai sebagai metode perlawanan, seperti yang disampaikan
oleh Larry Diamond dan Marc F. Plattner, para penganut nasionalisme dunia
ketiga secara khas menggunakan retorika antikolonialisme dan antiimperalisme.
Para pengikut nasionalisme tersebut berkeyakinan bahwa persamaan cita-cita yang
mereka miliki dapat diwujudkan dalam sebuah identitas politik atau kepentingan
bersama dalam bentuk wadah yang disebut bangsa (nation). Dengan demikian, bangsa atau nation merupakan suatu
wadah yang didaamnya terhimpun orang-orang yang mempunyai persamaan keyakinan
dan persamaan lain yang mereka miliki seperto ras, etnis, agama dan budaya.
Unsur persamaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas politik bersama
untuk melakukan tujuan organisasi politik yang diangun berdasarkan geopolitik
yang terdiori atas populasi, geografis dan pemerintahan yang permanen yang
disebut negara atau state.
Nation-state
atau negara-bangsa merupakan sebuah bangsa yang
memiliki bangunan politik (political
building) seperti ketentuan-ketentuan perbatasan tertorial, pemerintahan
yang sah, pengakuan luar negri, dan sebagainya. Munculnya paham nasionalisme
atau kebangsaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial politik
dekade pertama abad ke 20. Pada waktu tiu semangat menentang kolonialisme
Belanda mulai bermunculan dimuka dikalangan pribumi semangat umum dikalangan
tokoh-tokoh pergerakan nasional untuk memformulasikan bentuk nasionalisme yang
sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Paham nasionalisme di Indonesia yang disampaikan
oleh Soekarno yang disuarakan adalah bukan nasionalisme yang berwatak sempit,
tiruan dan Barat, atau berwatak chauvinsm.
Nasionalisme yang dikembangkan Soekarno bersifat toleran, bercorak
ketimuran dan tidak agresif sebagaimana nasionalisme yang dikembangkan di
Eropa. Selainmengungkapkan keyakinan watak nasionalisme yang penuh nilai-nilai
kemanusiaan, juga meyakinkan pihak-pihak yang bersebrangan pandangan bahwa
kelompok nasional dapat bekerja sama dengan kelompok mana pun, baik golongan
sekedar mendasarkan pada perjuangan Islam. Menurutnya, kebijakan ini merupakan
pilihan terbaik bagi kemerdekaan maupun masa depan seluruh bangsa Indonesia.
Semangat nasionalisme Soekarno tersebut mendapat respons dan kalangan luas dari
kalangan intelektual muda didikan Barat, seperti Syahrir dan Moh. Hatta yang
kemudian semakin berkembang paradigmanya sampai sekarang dengan munculnya
konsep identitas nasional sehingga bisa dikatakan bahwa paham nasionalisme atau
kebangsaan disini merupakan refleks identitas nasional.
Hal yang diprihatinkan di sini adalah adanya
perdebatan panjangng tentang paham nasionalisme kebangsaan dimana mereka
mempunyai kesepakatan perlunya paham nasionalisme kebangsaan, namun dalam
konteks yang berbeda mengenai masalah nila atau watak nasionalisme Indonesia.
Revitalisasi Pancasila Sebagai Pemberdayaan Identitas Nasional
a.
Revitalisasi Pancasila
Revitalisasi Pancasila sebagaimana manifestasi identitas nasionalpada
gilirannya harus diarahkan juga pada pembinaan dan pengembangan moral sehingga
moralitas Pancasila dapat dijadikan dasar dan arah dalam upaya untuk mengatasi
krisis dan disintegrasi yang cenderung sudah menyentuh ke semua segi kehidupan,
dan harus kita sadari bahwa moralitas Pancasila akan menjadi tanpa makna dan
bahkan menjadi sebuah "karikatur" apabila tidak disertai dukungan
suasana kehidupan dibidang hukum secara kondusif. Antara moralitas dan hukum
memang terdapat korelasiyang sangat erat, dalam arti bahwa moralitas yang tidak
didukung oleh kehidupan hukum yang kondusif akan menjadi bersifat subjektif
yang satu sama lain akan saling berbenturan. Sebaliknya ketentuan hukum yang
disusun tanpa disertai dasar dan alasan moral akan melahirkan suatu legalisasi
yang represif, kontraproduktif, dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila
itu sendiri.
Dalam manifetasi Pancasila sebagai manifestasi identitas nasional,
penyelenggara pendidikan kewarganegaraan hendaknya dikaitkan dengan wawasan
berikut.
1) Spiritual : untuk meletakkan landasan etika, moral,
religiusitas, sebagai dasar dan arah pengembangan sesuatu profesi.
2) Akademis:untuk menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan
merupakan aspek being yang tidak kalah pentingnya, bahkan lebih penting
daripada aspek having dalam kerangka penyiapan sumber daya manusia (SDM)
yang bukan sekedar instrumen, melainkan subjek pembaharuan dan pencerahan.
3) Kebangsaan: untuk menumbuhkan kesadaran nasionalismenya agar
dalam pergaulan antarbangsa, tetap setia kepada kepentingan bangsanya, banggga,
dan respek kepada jati diri bangsanya yang memiliki ideologi sendiri.
4) Mondial: untuk menyadarkan bahwa manusia dan bangsa dimasa
kini siap menghadapi dialektikanya perkembangan dalam masyarakat dunia yang
"terbuka".
b.Pemberdayaan Identitas Nasional
Dalam rangka pemberdayaan identitas nasional kita, perlu ditempuh upaya
melalui revitalisasi Pancasila. Revitalisasi sebagai manifestasi identitas
nasional mengandung makna bahwa Pancasila harus kita letakkan dalam keutuhannya
dengan pembukaan, serta dieksplorasikan dimensi-dimensi yang melekat padanya,
yang meliputi sebagai berikut.
1) . Realitas : dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
dikosentrasikan sebagai cerminan kondisi objektif yang tumbuh dan berkembang
dalam masyrakat.
2) . Idealis : dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya
bukanlah sekadar utopia tanpa makna, melainkan diobjekkan sebagai "kata
kerja" untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna
melihat hari depan secara prospektif, menuju hari esok yang lebih baik, melalui
seminar atau gerakan dengan tema "Revitalisasi Pancasila."
3) Fleksibilitas : dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah
selesai dan "tertutup", kemudian menjadi sesuatu yang sakral,
melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang
terus-menerus berkembang.
Dengan demikian, agar identitas nasional dapat dipahami sama oleh
masyarakat sebagai penerus tradisi seperti dengan nilai-nilai diwariskan oleh
nenek moyang kita, pemberdayaan nilai-nilai ajarannyaharus bermakna, dalam arti
relevan dan fungsional bagi kondisis aktual sedang berkembang dalam masyarakat.
Amelalui Revitalisasi Pancasila sebagai wujud pemberdayaan nasional inilah,
identitas nasional dalam alur rasional- akademis tidak saja segi tekstual,
melainkan juga segi kontekstualnya dieksplorasikan sebagai referensi kritik
sosial terhadap berbagai penyimpangan yang melanda mayarakat dewasa ini. Untuk
mengembangkan jati diri bangsa, dimulai dari nilai-nilai yang harus
dikembangkan, yaitu nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, berani mengambil
resiko, bertanggung jawab terhadap apa yang boleh dilakukan, adanya kesepakatan
dan berbagai terhadap sesama.[5]
B. Globalisasi dan Ketahanan
Nasional
1.
Hakikat Globalisasi
Secara umum globalisasi adalah suatu perubahan sosial dalam bentuk
semakin bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan faktor - faktor yang
terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi modern. Istilah
globalisasi dapat diterapkan dalam berbagai konteks sosial, budaya, ekonomi,
dan sebagainya. Memahami globalisasi adalah suatu kebutuhan, mengingat
majemuknya fenomena tersebut.
Globalisasi merupakan fenomena berwajah majemuk. Istilah globalisasi
sering diidentifikasikan dengan :
1.
Internasionalisasi, yaitu hubungan
antarnegara, meluasnya arus perdagangan dan penanaman modal.
2.
Liberalisasi, yaitu
pencabutan pembatasan -pembatasan pemerintah untuk mebuka ekonomi tanpa mata
uang, kendali devisa, dan izin masuk suatu negara (visa)
3.
Universalisasi, yaitu ragam
selera dan gaya hidup seperti pakaian, makanan, kendaraan, diseluruh pelosok
penjuru dunia
4.
Westernisasi dan
Amerikanisasi, yaitu ragam hidup model budaya barat atau Amerika
5.
De-teritorialisasi,
yaituperubahan -perubahan geografi sehingga ruang sosial dalam perbatasan,
tempat, dan jarak menjadi berubah.
Pengertian Globalisasi
Globalisasi telah banyak menyita perhatian pengamat
sosial dan politik. Menariknya, karena begitu luasnya konsep ini digunakan,
dikalangan ilmuan tidak terdapat kata sepakat mengenai defini yang pas mengenai
Globallisasi. Mereka cendrung mendefinisikan Globalisasi dengan lebih
menekankan aspek-aspek tertentu yang dipentingkan menurut inat dan fenomena
yang hendak dijelaskan, sementara pada saat yang sama cenderung mengabaikan
aspek – aspek yang lain.
Globalisasi menurut para Ilmuan
Para ilmuan tebagi menjadi tiga kelompok dalam melihat globalisasi, yakni
kelompok hiperglobalis, kelompok skeptis, dan kelompok transformasionalis.
Masing-masing pandangan akan
dipaparkan dalam uraian berikut. Menurut para pendukung hiperglobalis,
globalisasi didefinisikan sebagai sejarah baru kehidupan manusia di mana
“negara tradisional tidak lagi relevan, lebih –lebih tidak mungkin menjadi unit
– unit bisnis dalam sebuah ekonomi global. Pandangan ini memberikan penekanan
yang lebih teramat besar terhadap ekonomi dunia. Oleh karena itu, mereka
melihat globalisasi ekonomi akan membawa serta gejala “denasioanalisasi”
ekonomi melalui jaringa – jaringan produksi tradisional (transnastional network
of production), perdagangan, dan keuangan. Dalam lingkungan ekonomi yang tanpa
batas ini ( economics borderless ), emerintahan nasional tidak lebih dari
sekedar transmission belts bagi kapital global, atau secara lebih singkat
sebagai instituti perantara yang menyisip diantara kekuatan lokaldan regional
yang sedang tumbuh, serta mekanisme peraturan global. Lebih lanjut, mereka
mengatakan bahwa globalisasi ekonomi tengah membangun bentuk – bentuk baru
organisasi sosial yang tengah menggantikan atau yang akhirnya akan menggantikan
negara bangsa sebagai lembaga ekonomi utama dan unit politik masyarakat dunia.
Merekan juga meklaim bahwa ekonomi akan membawa pola baru antara pemenang dan
pecundang sekaligus dalam suatu ekonomi global. Perbedaan lama antara kelompok
utara (negara –negara maju dan kaya) dan kelompok selatan (negara – negara
berkembang dan miskin) akan menjadi anakromanisme karena pembagian buruh dalam
ekonomi global menggantikan struktur tradisional antara pusat-periferi dalam
suatu arsitektur yang lebih kompleks dari kekuatan ekonomi dunia. Akhirnya,
mereka menyatakan bahwa kemunculan ekonomi global dan lembaga – lembaga
governance global, serta penyebaran dan
hibridasi budaya dianggap sebagai fakta tatanan dunia baru yang radikal.
Kelompok pendukung pandangan kedua adalah kelompok
skeptis. Tesis utama kelompok adalah globalisasi bukan lah merupakan fenomena
yang sama sekali baru, tetapi mempunyai akar sejarah yang panjang. Kelompok ini
menganggap bahwa tesis kelompok hiperglobalis secara fundamental cacat dan
secara politik adalah naif karena menganggap remeh kekuasaan pemerintahan
nasional dalam mengatur kegiatan ekonomi internasional. Sebaliknya, kelompok
ini melihat bahwa kekuatan–kekuatan global itu sendiri sangat bergantung pada
kekuatan mengatur dari pemerintahan nasional untuk menjamin liberalisasi
ekonomi terus berlanjut. Mereka menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai pasar
global sebagaimana yang dikonsepsikan oleh kaum hiperglobalis pada dasarnya
hanya dilebih – lebihkan. Bagi sebagian besar kaum skeptis, ekonomi dewasa ini
lebih didominasi ‘regionalisasi’ karena ekonomi dianggap mengglobal oleh kaum
hiperglobalis hanyalah melibatkan ketiga blok perdagangan dan keuangan, yakni
eropa, Asian-Pasifik, dan Amerika Utara. Selanjutnya, berbeda dengan kaum
hiperglobalis yang meyakini bahwa persoalan perbedaan anatara kelompok utara
dan selatan yang tidak lagi relevan karena akan lebih ditentukan oleh pembagian
buruh, kaum skeptis justru menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan
memarginalkan negara – negara Dunia ketiga karena perdagangan dan investasi
hanya mengalit di kalangan negara –negara industri maju dan kaya.
Kelompok ketiga adalah transformasionalis. Inti
pandangan kelompok ini adalah adanya keyakinan bahwa pada permulaan milineum
baru, glonalisasi adalah kekuatan utama dibalik perubahan – perubahan sosial,
ekonomi, dan politik yang tengah menentukan kembali mesyarakat modern dan
tatanan dunia ( world order ). Mereka menyatakan bahwa proses globalisasi yang
tengah berlangsung saat ini secara historis belum pernah terjadi sebelumnya,
diaman tidak ada lagi perbedaan anatara internasional dan domsestik, karena
hubungan – hubungan internal dan eksternal tidak lagi menjadi jelas.
Para pendukung transformasionalis ini mempunyai
keyakinan bahwa globalisasi yang berlangsung dewasa ini telah menempatkan
kembali kekuasaan, fungsi, dan kekuasaan pemerintahan nasional. Salah satu
pandangan penting dari kaum transformasionalis adalah negara tidak lagi bisa
bersembunyi di balik klaim kedaulatan nasional. Sebaliknya, kekuasaan negara
bangsa sekarang ini dalam mengambil keputusan harus disejajarkan dengan lembaga
– lembaga governance global dan dari sudut pandang hukum internasional. Dalam
kondisi seperti ini, negara bangsa yang mengelola dirinya sendiri dan sebagai
unit yang otonom lebih merupakan klaim normatif dibandingkan sebagai suatu
pernyataan deskriptif.[6]
Adapula beberapa pengertian globalisasi yang
lain, yaitu :
Pertama, globalisasi sebagai transformasi kondisi
spasial-temporal kehidupan. Hidup yang kita alami mengandaikan ruang (space)
dan waktu (time). Namun, fakta itu juga berarti jika terjadi perubahan dalam
pengelolaan tata ruang-waktu, terjadi pula transformasi pengorganisasian hidup.
Misalnya, berbeda dengan masa lampau, akibat teknologi informasi sebuah berita
atau kejadian di kawasan dunia lain dapat diketahui dalam beberapa menit saja
oleh penduduk di belahan dunia lain.
Kedua, globalisasi sebagai transformasi lingkup cara
pandang. Dengan kata lain, globalisasi menyangkut transformasi cara memandang,
cara berpikir, cara merasa, dan cara mendekati persoalan. Isi perasaan kita
tidak lagi hanya dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi dalam lingkup hidup
dimana kita berada, tetapi oleh berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai
belahan dunia. Demikian pula dalam hal budaya, ekonomi, politik, hukum, bisnis,
dan sebagainya. Denngan kata lain, pada tataran ini globalisasi menyangkut
transformasi isi dan cara merasa serta memandang persoalan di kalangan
masyarakat dunia.
Ketiga, globalisasi sebagai transformasu modus
tindakan dan praktik. Pada bagian ini, globalisasi menunjuk pada proses kaitan
yang makin erat semua aspek kehidupan pada skala mondial. Gejala yang muncul
dari interaksi yang makin intensif dapat dilihat dalam dunia perdagangan,
media, budaya, transportasi, teknologi, informasi, dan sebagainya.
Dengan demikian, peningkatan saling keterkaitan antara
seseorang atau satu bangsa dengan bangsa lainnya telah menggiring dunia ke arah
pembentukan desa global ( global village). Desa global merupakan kenyataan
sosial yang saling terpisah secara fisik tapi saling berhubungan dan saling
memengaruhi secara nonfisik seperti haraga minyak bumi di pasaan dunia yang
sangat memengaruhi haraga bahan bakar minyak Indonesia, fluktuasi harga tomat
di eropa, misalnya, akan berdampak pada haraga tomat di pasar tradisional di
Indonesia.
Hal serupa terjadi pula dalam bidang sosial, politik
dan kebudayaan. Terdapat banyak faktor yang mendorong terjadinya globalisasi
antara lain pertumbuhan kapitalisme, maraknya inovasi teknologi komunikasi dan
informasi serta diciptakannya regulasi - regulasi yang meningkatakan persaingan
dalam skala besar dan luas seperti hak cipta, standarisasi teknis dan
prosedural dalam produk dan sistem produksi serta penghapusan hambatan
perdagangan.
2.
Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional adalah kondisi dinamik suatu bangsa yang berisi
keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan
nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan,
serta gangguan, baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam
negeri, yang berlangsung maupun yang tidak langsung membahayakan integritas,
identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar
tujuan nasional. Dalam rangka ketahanan nasional, peluang dan tantangan bangsa
Indonesia dalam era globalisasi dapat dijumpai dalam beberapa bidang yang
meliputi bidang politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Peluang dan tantangan yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
Bidang
Politik
a.
Demokrasi menjadi sistem
politik di Indonesia yang berintikan kebebasan mengemukakan kebebasan
mengemukakan pendapat.
b.
Politik luar negeri yang
bebas aktif
c.
Melaksanakan sistem
pemerintahan yang baik (good governance) dengan prinsip partisipasi, rule of
law, responsif, serta efektif dan efisien.
Bidang
Ekonomi
a.
Menjaga kestabilan ekonomi
makro dengan menstanilkan nilai tukar rupiah dan suku bunga.
b.
Menyediakan lembaga-lembaga
ekonomi yang modern (perbankan, pasar modal, dan lain-lain)
c.
Mengeksploitasi sumber daya
alam secara proposional.
Bidang
Sosial- budaya
a.
Meningkatakan sumber daya
manusia, yaitu kompetensi dan komitmen melalui demokratisasi pendidikan.
b.
Penguasaan ilmu dan
teknologi serta mengaplikasikannya dalam kehidupan masyarakat. Menyusun kode
etik profesi yang sesuai dengan karakter dan budaya bangsa.
B. Multukulturalisme : Antara Nasionalisme dan Globalisasi
Salah satu isu yang mengiringi gelombang demokratisasi adalah munculnya
wacana multikulturalisme. Multikulturalisme pada intinya adalahkesediaan
menerima kelompok lain ecara sama sebagai kesatuan tanpa memedulikan perbedaan
budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama. Menuurut Gurpreet Mahajan, konsep
multikuturalisme sebenarnya relatif baru. Menurutnya, sekitar 1950-an gerakan
multikutural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika
Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya.
Multikulturalisme memberi penegasan seseorang atau kelompokbahwa dengan
segala perbedaannya diakui dan sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme
menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain,
adanya komunitas yang berbeda saja tidak cukup, karena yang terpenting adalah
komunitas tersebut diperlakukan sama oleh warga negara maupun negara.
1.
Pengetian Multikulturalisme
Istilah multikuturalisme mulai digunakan orang sekitar tahun 1950-an di
Kanada untuk menggambarkan masyarakat Kanada di perkotaan yang multikutural dan
multilingual. Namun demikian, multikulturalisme menjadi konsep yang menyebar
dan dipandang penting bagi masyarakat majemuk dan kompleks di dunia, dan bahkan
dikembangkan sebagai strategi integrasi kebudayaan melalui pendidikan
multikultural.
Ada beberapa istilah yang secara konseptual tampak mirip dengan terminologi
multikulturalisme namun sebenarnya berbeda, misalnya pluralisme, diversitas,
heterogenitas, atau sering disebut dengan istilah "masyarakat
majemuk". Masyarakat majemuk (plural society) berbeda dengan keragaman
budaya atau multikulturalisme (plural cultural). Masyarakat majemuk lebih
menekankan soal etnisitas atau suku yang pada gilirannya membangkitkan gerakan
etnosentrisme sanggat potensial tumbuh dan berkembang dalam masyarakat model
ini. Karena wataknya yang sangat mengagungkan diri stereotip kesukuan, maka
anggota masyarakat ini memandang kelompok lain dengan cara pandang mereka yang
rasial dan primordial. Model masyarakat ini sangat rentan dengan konflik.
Dengan kata lain, konflik yang mereka miliki dapat terjadi setiap saat.
Berbeda dengan konsep dan perspektif masyarakat majemuk, konsep
multikulturalisme sangat menjunjung perbedaan bahkan menjaganya agar tetap
hidup dan berkembang secara dinamis. Lebih dari sekedar memelihara dan
mengambil manfaat dari perbedaan, perspektif multikulturalisme memandang
hakikat kemanusiaan sebagai sesuatu yang universal. Manusia adalah sama. Bagi
masyarakat multikultural perbedaan sebuah kesempatan untuk memanifestasikan
hakikat sosial manusia dengan dialog dan komunikasi. Multikulturalisme sangat
mementingkan dialektika yang kreatif.
Karakter masyarakat multikultural adalah toleran. Mereka hidup dalam
semangat peaceful co-existence , hidup berdampingan secara damai. Setiap
entitas sosial dan budaya masih membawa jati dirinya, tidak terlebur kemudian
hilang, namun juga tidak diperlihatkan sebagai kebanggaan melebihi penghargaan
kelompok dari berbagai etnik dan budaya hidup dalam societal cohesion tanpa
kehilangan identitas etnik.
Dan kultur mereka. Sekalipun mereka hidup bersatu dalam ranah sosial
tetapi antar-entitas tetap ada jarak. Prinsip "aku dapat bersatu dengan
engkau, tetapi antara kita tetap ada jarak" sangat kuat dalam masyarakat
multikultural. "aku hanya bisa menjadi aku dalam arti sepenuhnya dengan
menjadi satu dengan engkau, namun tetap saja antara aku dan engkau ada
jarak", merupakan prinsip lain dalam masyrakat multikultural. Untuk
menjaga jarak sosial tersebut tetap kondusif diperlukan jalinan komunikasi,
dialog, dan toleransi yang kreatif.
2.
Multikulturalisme di antara
Nasionalisme dan Globalisasi
Dalam sejarahnya, nasionalisme Indonesia melalui beberapa tahap
perkembangan. Tahap pertama ditandai dengan tumbuhnya perasaan kebangsaan dan
persamaan nasib yang diikuti dengan perlawanan terhadap penjajahan baik sebelum
maupun sesudah proklamasi kemerdekaan. Nasionalisme religius dan nasionalisme
sekuler muncul bersamaan dengan munculnya gagasan Indonesia merdeka. Upaya dari
kelompok nasionalis Islam untuk mendirikan negara yang berlandaskan islam dan
kalangan nasionalis sekuler yang ingin dijadikan patokan untuk menganalisis
kesadaran kebangsaan atau perasaan nasionalisme bangsa.
Tahap ketiga adalah nasionalisme persatuan dan kesatuan. Kelompok oposisi
atau mereka yang tidak sejalan dengan pemerintah disingkirkan karena
akanmengancam persatuan dan stabilitas. Perbedaan diredam bukan dengan
menyelesaikan pokok persoalannya tetapi di tindas dan disembunyikan di bawah
karpet. Terhadap luar negeri, nasionalisme berarti kedaulatan, integritas, dan
identitas bangsa. Tekanan agar ada penghormatan terhadap hak -hak asasi
manusia, demokrasi, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai
campur tangan asing terhadap kedaulatan RI. Nilai- nilai universal oleh
penguasa orde baru dianggap bertentangan dengan nilai-nilai bangsa atau
demokrasi Pancasila.
Tahap keempat adalah nasionalisme kosmopolitan. Dengan bergabungnya
Indonesia dalam sistem global internasional, nasionalisme Indonesia yang
dibangun adalah nasionalisme kosmopolitan yang menandaskan bahwa Indonesia
sebagai bangsa tidak dapat menghindari dari bangsa lain, namun dengan memiliki
nasionalisme kultural keindonesiaan denngan memberikan kesempatan kepada aktor-
aktor daerah secara langsung untuk menjadi aktor kosmopolit. Dalm hal ini
konteks dan kecenderungan global ini, semakin banyak orang membayangkan menjadi
warga dunia (world citizen) dan terikat pada nilai -nilai dan semangat generasi
baru produk medernisasisme, yaitu cinta dan pembelaan kepada tanah ait secraa
total bahkan nasional-buta. Nilai-nilai , semangat, dan patriotisme mereka
mestinya diletakkan dalam semangat pembelaan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan.
Upaya pembangunan Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat
terwujud bila: pertama, konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami
oleh masyarakat Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat
nasional untuk mengadopsi dan menjadikan sebagai pedoman; kedua,kesamaan
pemahaman di antara masyarakat mengenai makna multikultturalisme dan bangunan
konsep yang mendukungnya.
Ada lima hal penting jika melihat hubungan antara Pancasila dan
multikulturalisme.
Pertama, multkulturalisme adalah pandangan kebudayaan yang beorientasi
praktis, yakni yang menekankan perwujudan ide menjadi tindakan. Ciri inilah
yang memberikan kata sambung dengan Pancasila yang seyogyanya dipandang sebagai
cita-cita. Multikulturalisme menghendaki proses belajar mengenai perbedaan
kebudayaan yang dimulai dari sikap dan iteraksi hidup semakin berdekatan,
seperti Indonesia. Dengan kata lain, multikulturalisme dapat juga disebut
sebgaia penerjemahan Pancasila ke dalam konteks yang lebih konkret dan praktis.
Atau, Pancasila harus diberi energi praktis multikulturalisme.
Kedua, multikulturalisme harus menjadi grand strategy ke masa depan,
khususnya dalam pendidikan nasional yang menekankan learning by doing or
practicing, dan tidak lagi semata-mata kognitif. Untuk itu dibutuhkan pemikiran
yang komprehensif, konsisten, dan berjangka panjang yang melibatkan semua
pihak.
Ketiga, dengan memosisikan multikulturalisme sebagai perwujudan Pancasila,
maka kebudayaan tidak lagi dijadikan sampiran atau di jadikan kambing hitam
jika terjadi pergolakan di masyarakat, melainkan di jadikan salah satu
prioritas utama untuk membangun bangsa kareana integrasi bangsa tertumpu pada
persoalan kebudayaan.
Keempat, kalau multikulturalisme didefinisikan sebagai "sejumlah
kebudayaan yang hidup berdampingan, dan seyogianya mengembangkan cara pandang
yang mengakui dan menghargai keberadaan kebudayaan satu sama lain", maka
secara empiris dapat dipertanyakan apakah kriteria "saling
menghargai" itu ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks
empiris ini ditemukan bahwa Pancasila tampaknya kurang operasional untuk
menjelaskan batas- batas kebudayaan.
Akan tetapi, jika memosisikan Pancasila sebagai cita-cita, maka persoalan
metodologis tersebut tidak akan mempersulit posisi Pancasila.
Kelima, perubahan dari cara berpikipluralisme ke multikulturalisme dalam
memandang Pancasila adalah perubhankebudayaan yang menyangkut nilai - nilai
dasar yang tidak mudah diwujudkan. Diperlukan dua persyaratan:
a.
Kita harus memiliki
pemahaman yang mendalam mengenai model multikulturalisme yang sesuai dengan
kondisi Indonesia.
b.
Kebijakan itu harus
berjangka pnjang, konsisten, dan membuutuhkan kondisi politik yang mendukung.
Konsep masyarakat multikultural tampaknya relevan bagi penegasan kembali
identitas nasional bangsa Indonesia yangekslusif dan toleran dengan tetap
mengakar pada identitasnya yang majemuk sebagaimana terefleksi dalam konteks
dasar negara Pancasila. Dengan demikian, konsep masyarakat multikultural dapat
menjadi wadah pengembangan demokrasi dan masyrakat madani di Indonesia.
Kemajemukan bangsa Indonesia dapat menjadi modal sosial (social capital) bagi
pengembangan model masyarakat multikultural di Indonesia.[7]
Kesimpulan
identitas adalah sifat khas yang menerangkan
dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan sendiri, atau negara
sendiri. Mengacu pada pengertian ini, identitas tidak terbatas pada individu
semata, tetapi berlaku pada suatu kelompok. Parameter Identitas Nasional
adalah suatu ukuran atau patokan yang dapat
digunakan menyatakan sesuatu adalah menjadi ciri khas suatu bangsa.
Sesuatu yang diukur adalah unsur suatu identitas seperti kebudayaan yang
menyangkut norma, bahasa, adat istiadat dan teknologi, sesuatu yang alami atau
ciri khas yang sudah seperti geografis.
Unsur-unsur Identitas Nasional yaitu : Suku Bangsa, Agama, Kebudayaan ,
dan Bahasa. Unsur- unsur pembentuk identitas nasional yaitu : unsur sejarah,
kebudayaan, budaya unggul, suku bangsa,agama, dan bahasa.
Secara umum globalisasi adalah suatu perubahan sosial dalam bentuk
semakin bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan faktor - faktor yang
terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi modern.
Daftar
Pustaka
Heri Herdiawanto & Jumanta Hamdayama. Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwaganegara. Jakarta :
Erlangga, 2002.
Hidayat, Komarudin dan Azyumardi
Azra. Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat
Madani. Jakarta : ICCE UIN Syarifhidayatullah, 2006.
Srijanti, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan
Perguruan Tinggi. Mengembangkan Etika Berwarga Negara. Jakarta : Salemba Empat, 2009.
Budi
Winarno. Globalisasi & Krisis
Demokrasi. Yogyakarta : Media Pressindo, 2007.
Winarno, Dwi. 2006.Paradigma Baru
Pendidikan Kewarganegaraan, Panduan kuliah di Perguruan Tinggi.Jakarta:
Bumi Aksara
[1] Heri
Herdiawanto & Jumanta Hamdayama, "Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwaganegara", ( Jakarta : Erlangga, 2002 ), h. 32-36.
[2] Srijanti,
dkk,
Pendidikan
Kewarganegaraan Perguruan Tinggi, "Mengembangkan Etika Berwarga Negara", ( Jakarta : Salemba Empat, 2009, h. 40.
[3] Heri
Herdiawanto & Jumanta Hamdayama, "Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwaganegara", ( Jakarta : Erlangga, 2002 ), h. 36.
[4] Srijanti,
dkk,
Pendidikan
Kewarganegaraan Perguruan Tinggi, "Mengembangkan Etika Berwarga Negara", ( Jakarta : Salemba Empat, 2009, h. 42-45.
[5] Heri
Herdiawanto & Jumanta Hamdayama, "Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwaganegara", ( Jakarta : Erlangga, 2002 ), h. 37-43.
[6] Budi Winarno, "Globalisasi & Krisis Demokrasi", (
Yogyakarta : Media Pressindo, 2007 ), h. 11.
[7]Komarudin Hidayat dan
Azyumardi Azra, "Demokrasi,
Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani", ( Jakarta : ICCE UIN Syarifhidayatullah, 2006, h. 25-31.
No comments:
Post a Comment