Tuesday, October 28, 2014

Identitas Nasional



IDENTITAS NASIONAL
Bab I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Situasi dan kondisi masyarakat kita dewasa ini menghadapkan kita pada suatu keprihatinan dan sekaligus juga mengundang kita untuk ikut bertanggung jawab atas mozaik Indonesia yang retak, bukan sebagai ukiran, melainkan membelah dan meretas jahitan busana tanah air, tercabik – cabik dalam kerusakan yang menghilangkan keindahannya. Untaian kata – kata dalam pengantar sebagaimana tersebut merupakan tamsilan bahwa Bangsa Indonesia yang dahulu dikenal sebagai “het zaschte colk teraarde” dalam pergalan antar bangsa, kini sedang mengalami tidak saja krisis identitas, melainkan juga krisis dalam berbagai dimensi kehidupan yang melahirkan instabilitas yang berkepanjangan semenjak reformasi digulirkan pada tahun 1998 Koento Wibisono, 2005).
Krisis moneter yang kemudian disusul krisis ekonomi dan politik yang akar-akarnya tertananm dalam krisis moral an menjalar kedalam krisis budaya, menjadikan masyarakat kita kegilangan orientasi nilai, hancur dan kasar, gersang dalam kemiskinan budaya dan kekeringan spiritual. Societal terorism muncul dan berkembang disana-sini dalam fenomena pergolakan fisik, seperti pembakaran dan penjarahan yang disertai dan pembunuhan sebagaimana terjadi di Poso, Ambon, dan bom bunuh diri diberbagai tempat yang disiarkan secara luas, baik oleh media massa didalam maupun luar negri. Semenjak peristiwa pergolakan antaretnis di Kalimantan Barat, Bangsa Indonesia di forum Internasional dilecehkan sebagai bangsa yang telah kehilangan peradabannya.
Kehalusan budi, sopan santun dalam sikap perbuatan, kerukunan, toleransi dan solidaritas sosial, idealisme, dan sebagainya telah hilang karena hanyut dilanda oleh derasnya arus medernisasi dan globalisasi yang penuh paradoks. Berbagai lembaga kocar-kacir dalam malfungsi dan disfungsi. Trust atau kepercayaan antar sesama, baik vertikal maupun horizontal, telh lenyap dalam kehidupan bermasyarakat. Identitas Nasional  kita dilecehkan dan dipertanyakan eksistensinya.
Krisis multidimensi yang sedang melanda masyarakat kita menyadarkan kita semua bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan Identitas Nasional kita tlah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam Pembukaan UUD 1945 yang intinya adalah memajukan kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, secara konstutisional pengembangan budaya untukmembina dan mengembangkan identitas Nasional telah diberi dasar dan arah.
2. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Identitas Nasional ?
2. Apakah Unsur - unsur Pembentuk identitas nasional?
3. Apakah keterkaita identitas nasional dan globalisasi?
4. Apakah pengertian Globalisasi?
3. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah agar dapat mengetahui Penjelasan tentang identitas nasional dan globalisasi secara lebih luas.







Bab II
Landasan Teori

1.    Identitas Nasional
Kata Identitas berasal dari bahasa Inggris, yaitu identitiy, yang memiliki pengertian harafiah ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain.  Dalam term antropologi, identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan sendiri, atau negara sendiri. Mengacu pada pengertian ini, identitas tidak terbatas pada individu semata, tetapi berlaku pada suatu kelompok. Sementara itu, kata “nasional” merupakan identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, dan bahasa maupunnonfisik seperti keinginan, cita-cita, dan tujuan. Himpunan kelompok inilah yang kemudiaan disebut dengan istilah identitas bangsa atau identitas nasional yang pada akhirnya melahirkan tindakan kelompok (collective action) yang diwujudkan dalam bentuk organisasi ataupergerakan-pergerakan yang diberi atribut-atribut nasional. Kata nasional sendiri tidak bisa dipisahkan dari kemunculan konsep nasionalisme.
Bila dilihat dalam konteks Indonesia, identitas nasional merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya.

  1. Muatan dan Unsur-Unsur Identitas Nasional
ΓΌ  Muatan Unsur-unsur Identitas Nasional
Jika berbicara mengenai muatan identitas nasional, dapat digambarkan sebagai berikut.




Rounded Rectangle: Pandangan Hidup Bangsa
Kepribadian Bangsa
Filasafat Pancasila
Ideologi Negara


 

























Dari gambaran tersebut diatas bisa dikatidentitas nasional merupakan pandangan hidup bangsa akan bahwa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai ideologi negara sehingga mempunyai kedudukn paling tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk disini adalah tatanan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam arti lain juga sebagai dasar negara yang merupakan norma peraturan yang harus dijunjung tinggi oleh semua warga tanpa kecuali rule of law, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban warga negara, demokrasi, serta hak asasi manusia yang berkembang semakin dinamis di Indonesia. Hal inilah akhirnya menjadi etika politik yang kemudian dikembangkan menjadi konsep geopolitik dan geostrategi ketahanan nasional di Indonesia.[1]

4. Parameter Identitas Nasional
Parameter Identitas Nasional adalah suatu ukuran atau patokan yang dapat  digunakan menyatakan sesuatu adalah menjadi ciri khas suatu bangsa. Sesuatu yang diukur adalah unsur suatu identitas seperti kebudayaan yang menyangkut norma, bahasa, adat istiadat dan teknologi, sesuatu yang alami atau ciri khas yang sudah seperti geografis. Sesuatu yang terjadi dalam suat masyarakat dan mencari ciri atau identitas nasional biasanya mempunyai indikator sebagai berikut:
1.      Identitas nasional menggambarkan pola perilaku yang terwuud melalui aktiviytas masyarakat sehari -harinya. Identitas ini menyangku adt-istiadat tata kelakuan, dan kebiasaan. Ramah tamah, hormat kepada orang tua , dan gotong royong merupakan salah satu identitas nasional yang bersumber dari adat - istiadat dan tata kelakuan.
2.      Lambang- lambang yang merupakan ciri dari bangsa dan secara simbol menggambarkan tujuan dan fungsi bangsa. Lambang-lambang negara ini biasanya dinyatakan dalam undang-undang seperti Garuda Pancasila , Bendera, bahasa, dan lagu kebangsaan.

Alat-alat pelengkap yang digunakan untuk mencapai tujuan seperti pembangunan, teknologi, dan peralatan manusia. Identitas yang berasal dari alat perlengkapan ini seperti bangunan yang merupakan tempat ibadah , peralatan manusia, dan teknologi.[2]

c. Unsur-unsur Identitas Nasional
Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu merupakan gabungan unsur-unsur pembentuk identitas, yaitu sebagai berikut.
1. Suku Bangsa: golongan sosia yang khusus yang bersifat akspiratif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang dri tiga ratus dialek bahasa.
2. Agama: bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang agamis. Agama-agama yang tumbuh dan berkembang dinusantara adalah agama Islam, Kristen, Katholik. Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa orde baru tidak diakui sebagai agama resmi negara, namun semenjak pemerintaha Presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.
3. Kebudayaan: pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya padalah perangkat-perangkat atau model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukanatau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
4. Bahasa: unsur pendukung Identitas Nasional yang lain. Bahasa dipahami sebagai sistem perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebagai sara berinteraksi antarmanusia.


Dari segi unsur-unsur identitas nasional tersebut diatas, dapat dirumuskan pembagiannya  menjadi tiga bagian berikut.
1)      Identitas Fundamental, yaitu Pancasila yang merupakan falsafah bangsa, dasar negara dan ideologi negara.
2)      Identitas Instrumental, yaitu berisiUUD 1945dan tata perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”.
3)      Identitas Alamiah, yaitu meliputi negara kepulauan (archipelago) dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya dan agama serta kepercayaan (agama).[3]
d.Unsur - unsur Pembentuk Identitas Nasional
Identitas nasioanl Indonesia pada saat ini terbentuk dari enam unsur yaitu :
1.Unsur Sejarah
Bangsa Indonesia mengalami kehidupan dalam beberapa situasi dan kondisi sosial yang berbeda sesuai sesuai perubahan jaman. Bangsa Indonesia secara ekonomis dan politik pernah mencapai era kejayaan diwilayah Asia Tenggara. Kejayaan dalam bidang ekonomi bangsa Indonesia pada era pemerintahan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya, rakyat mengalami kehidupan ekonomi yang sejahtera, sedangkan dalam bidang politik memiliki kekuasaan negara hingga seluruh wilayah nusantara yang meliputi wilayah jajahan Belanda hingga wilayah negara Filipina, Singapura, Malaysia, bahkan sebagiian wilayah Thailand. Namun, kejayaan ini mengalami keruntuhan akibat menghilangnya jiwa kebersamaan (persatuan dan kesatuan) diantara bangsa dalam pemerintahan Majapahit dan Sriwijaya tersebut.

Keruntuhan pemerintahan Majapahit dan Sriwijaya ini berimplikasi pada terciptanya pemerintahan kerajaan di masing-masing daerah di seluruh wilayah Indonesia. Sistem pemerintahan kerajaan ini menyebabkan bangsa Indonesia menjadi semakin lemah untuk menghadapi ancaman, tantangan,hambatan dan gangguan dari negara lain yang ingin mencari sumber energi baru bagi negaranya. Ketidakmampuan bangsa Indonesia ini pada akhirnya menyebabkan bangsa Indonesia jatuh ke tangan negara-negara kolonial (penjajah). Sebagaimana kita ketahui negara yang menjajah bangsa Indonesia adalah Belanda, Portugis, dan Jepang. Ketiganya masing-masing menjajah kita selama 350 tahun, 400 tahun, dan 3,5 tahun.
Perjuangan demi perjuangan bangsa Indonesia di atas pada akhirnya menjadi suatu nilai yang mengkristal dalam jiwa bangsa Indonesia bahwa identitas nasional Indonesia adalah bangsa Pejuang.

2.Kebudayaan
Aspek kebudayaan yang menjadi unsur pembentuk identitas nasional adalah melliputi tiga unsur yaitu :
1. Akal Budi
Adalah sikap dan perilaku yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam interaksinya antara pimpinan dengan staf, anak dengan orang tua (vertikal), atau sebaliknya. Bentuk sikap dan perilaku sebagaimana yang tersebut di atas, adalah hormat-menghormati antarsesama, sopan santun dalam sikap dan tutur kata, dan hormat pada orang tua.
2. Peradaban (civility)
Peradaban yang menjadi identitas nasional bangsa Indonesia adalah dapat dilihat dari beberapa aspek yang meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi,sosial, dan hankam. Identitas nasional dalam masing-masing yang dimaksud adalah :
1) Ideologi adalah sila-sila dalam Pancasila , 2) Politik adalah demokrasi langsung dalam pemilu langsung presiden dan wakil presiden serta kepala daerah tingkat I dan tingkat II kabupaten/kota, 3) Ekonomi adalah usaha kecil dan koperasi, 4) Sosial adalah semangat gotong royong, sikap ramah tamah, murah senyum, dan setia kawan, dan 5) Hankam adalah sistem keamanan lingkungan (siskamling),sisitem perang gerilya, dan sebagainya.

3. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan yang menjadi unsur pembentuk identitas nasional misalnya: 1) Prestasi anak bangsa dalam bidang olahraga bulutangkis dunia. 2) Karya anak bangsa dalam bidang teknologi pesawat terbang, seperti pembuatan pesawat terbang CN 235, di IPTN BandungJawa Barat , dan sebagainya.

3. Budaya Unggul
Budaya unggul adalah semangat dan kultur kita untuk mencapai kemajuan dengan cara "kita harus bisa, kita harus berbuat terbaik, kalau orang lain bisa, mengapa kita tidak bisa". Dalam UUD 1945, menyatakan bahwa bangsa Indonesia berjuang dan mengembangkan dirinya sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, bersatu, maju, makmur serta adil atau berkesejahteraan. Untuk mencapai kualitas hidup demikian, nilai kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan dijadikan landasan ideologis yang secara ideal dan normatif diwujudkan secara konsisten, konsekuen, dinamis, kreatif, dan bukan indoktriner.

4. Suku Bangsa
Identitas nasional dalam aspek suku bangsa adalah adanya suku bangsa yang majemuk (aneka ragam). Majemuk atau aneka ragamnya suku bangsa dimaksud adalah terlihat dari jumlah suku bangsa lebih kurang 300 suku bangsa dengan bahasa dan dialek yang berbeda.

5. Agama
Identitas nasional dalam aspek agama adalah masyarakat agamis dan memiliki hubungan antarumat seagama dan antarumat beragama yang rukun.

6. Bahasa
Bahasa adalah salah satu atribut bangsa di samping sebagai identitas nasional. Bahasa indonesia dikenal sebagai bahasa melayu yang merupakan bahasa penghubungg (lingua franca) berbagai etnis yang mendiami kepulauan nusantara. Bahasa Melayu ini pada tahun 1928 ditetapkan oleh pemuda dari berbagai suku bangsa Indonesia dalam peristiwa Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia.[4]

3.                  Keterkaitan Globalisasi dengan Identitas Nasional
a.                              Globalisasi
Adanya era globalisasi dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Era globalisasi tersebut telah datang dan menggeser nilai-nilai yang telah ada. Nilai-nilai tersebut bersifat positif dan negatif. Ini semua merupakan ancaman, tantangan, dan sekaligus sebagai peluang bagi bangsa Indonesia untuk berkreasi dan berinovasi disegala aspek kehidupan.
Di era globalisas, pergaulan antar bangsa semakin ketat. Batas antarnegara hampir tidak ada artinya. Batas wilayah tidak lagi menjadi penghalang. Didalam pergaulan antarbangsa yang semakin kental itu terjadi proses akulturasi, saling meniru dan memengaruhi antara budaya masing-masing. Hal ini yang perlu kita cermati pada proses akulturasi tersebut dapat melunturkan tata nilai yang merupakan jati diri bangsa Indonesia. Lunturnya nilai tersebut biasanya ditandai oleh dua faktor berikut.
1)      Semakin menonjolnya sikap individualitas, yaitu mengutamakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum. Hal ini bertentangan dengan asas gotong royong.
2)      Semakin menonjolnya sikap materialistis yang berarti harkat dan martabat kemanusiaan hanya diukur dari hasil keberhasilan seseorang dalam memperoleh kekayaan. Hal ini bisa berakibat bagaimana cara memperolehnya menjadi tidak dipersoalkan lagi. Bila hal ini terjadi, berarti etika dan moral telah dikesampingkan.
Arus informasi yang semakin pesat mengakibatkan akses masyarakat terhadap nilai-nilai asing yang negatif semakin besar. Apabila proses ini tidak segera di bendung, akan berakibat lebih serius yang pada puncaknya mereka tidakbangga pada bangsa dan negaranya.
Pengaruh negatif akibat proses akulturasi tersebut dapat merongrong nilai-nilai yang telah ada di dalam masyarakat kita. Jika semua ini tidak dapat dibendung, hal tersebut akan mengganggu ketahanan disegala aspek bahkan mengarah kepada kredibilitas sebuah ideologi. Untuk membendung arus globalisasi yang sangat deras itu, kita harus berupaya menciptakan suatu kondisi (konsepsi) agar ketahanan nasional dapat terjaga dengan cara membangun sebuah konsep nasionalisme kebangsaan yang mengarah kepada konsep identitas nasional.
b.                  Keterkaitan Globalisasi dengan Identitas Nasional
Dengan adanya globalisasi, intensitas hubungan masyrakat antara satu negara dengan negara lain menjadi semakin tinggi. Dengan demekian,kecenderungan munculnya kejahatan yang bersifat transnasional menjadi semakin sering terjadi. Kejahatan-kejahatan tersebut antara lain terkait dengan masalah narkotika, pencucian uang (money laundering), peredaran keimigrasian palsu, dan terorisme. Jika hal tersebut tidak dapat dibendung, hal tersebut akan menggaggu ketahanan nasional disegala aspek kehidupan, bahkan akan menyebabkan lunturnya nilai-nilai identitas nasional.

4.                  Keterkaitan Integritas Nasional Indonesia dan Identitas Nasional
Masalah integrasi nasional di Indonesia sangat kompleks dan multidimensi. Untuk mewujudkannya, diperlukan keadilan dan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama, bahasa, dan sebagainya.Pada akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa inilah yang dapat menjamin telah terwujudnya negara yang makmur, aman dan tentram. Jika melihat konflik yang terjadi di Aceh, Ambon, Kalimantan Barat dan Papua, hal tersebut meupakan cerminan belum terjadinya integrasi nasional yang diharapkan. Sementara itu, kaitannya dengan identitas nasional adalah adanya integritas nasional dapat menguatkan agar identitas nasional yang saling dibangun.

5.                  Paham Nasionalisme Kebangsaan
Paham Nasional Kebangsaan
 Dalam situasi perjuangan perebutan kemerdekaan, dibutuhkan suatu konsep sebagai dasar pembenaran rasional dari tuntunan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat keikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa. Dasar pembenaran tersebut, selanjutnya mengkristal dalam paham konsep ideologi kebangsaan yang biasa disebut dengan nasionalisme. Dari sanalah kemudian lahir konsep-konsep turunannya seperti bangsa (nation), negara (state), dan gabungan keduanya yang menjadi konsep negara-bangsa (nation-state) sebagai komponen-komponen yang membentuk identitas nasional atau kebangsaan, oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Paham Nasionalisme atau Paham Kebangsaan adalah sebuah situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabadikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah bangsa. Munculnya nasionalisme terbukti sangat efektif sebagai alat perjuangan bersama merebut kemerdekaan dari cengkraman kolonial. Secara garis besar, terdapat tiga pemikiran besar tentang nasionalisme di Indonesia yang terjadi pada masa sebelum kemerdkaan, yaitu paham ke-Islaman, Marxisme dan Nasionalisme Indonesia.
a.                  Paham Nasionalisme Kebangsaan sebagai paham yang mengantarkan pada konsep Identitas Nasional
Paham Nasionalisme atau paham Kebangsaan terbukti sangat efektif sebagai alat perjuangan bersama merebut kemerdekaan dari cengkraman kolonial. Semangat nasionalisme dihadapkan secara efektif oleh para penganutnya dan dipakai sebagai metode perlawanan, seperti yang disampaikan oleh Larry Diamond dan Marc F. Plattner, para penganut nasionalisme dunia ketiga secara khas menggunakan retorika antikolonialisme dan antiimperalisme. Para pengikut nasionalisme tersebut berkeyakinan bahwa persamaan cita-cita yang mereka miliki dapat diwujudkan dalam sebuah identitas politik atau kepentingan bersama dalam bentuk wadah yang disebut bangsa (nation). Dengan demikian, bangsa atau nation merupakan suatu wadah yang didaamnya terhimpun orang-orang yang mempunyai persamaan keyakinan dan persamaan lain yang mereka miliki seperto ras, etnis, agama dan budaya. Unsur persamaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas politik bersama untuk melakukan tujuan organisasi politik yang diangun berdasarkan geopolitik yang terdiori atas populasi, geografis dan pemerintahan yang permanen yang disebut negara atau state.

Nation-state atau negara-bangsa merupakan sebuah bangsa yang memiliki bangunan politik (political building) seperti ketentuan-ketentuan perbatasan tertorial, pemerintahan yang sah, pengakuan luar negri, dan sebagainya. Munculnya paham nasionalisme atau kebangsaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial politik dekade pertama abad ke 20. Pada waktu tiu semangat menentang kolonialisme Belanda mulai bermunculan dimuka dikalangan pribumi semangat umum dikalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional untuk memformulasikan bentuk nasionalisme yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Paham nasionalisme di Indonesia yang disampaikan oleh Soekarno yang disuarakan adalah bukan nasionalisme yang berwatak sempit, tiruan dan Barat, atau berwatak chauvinsm. Nasionalisme yang dikembangkan Soekarno bersifat toleran, bercorak ketimuran dan tidak agresif sebagaimana nasionalisme yang dikembangkan di Eropa. Selainmengungkapkan keyakinan watak nasionalisme yang penuh nilai-nilai kemanusiaan, juga meyakinkan pihak-pihak yang bersebrangan pandangan bahwa kelompok nasional dapat bekerja sama dengan kelompok mana pun, baik golongan sekedar mendasarkan pada perjuangan Islam. Menurutnya, kebijakan ini merupakan pilihan terbaik bagi kemerdekaan maupun masa depan seluruh bangsa Indonesia. Semangat nasionalisme Soekarno tersebut mendapat respons dan kalangan luas dari kalangan intelektual muda didikan Barat, seperti Syahrir dan Moh. Hatta yang kemudian semakin berkembang paradigmanya sampai sekarang dengan munculnya konsep identitas nasional sehingga bisa dikatakan bahwa paham nasionalisme atau kebangsaan disini merupakan refleks identitas nasional.
Hal yang diprihatinkan di sini adalah adanya perdebatan panjangng tentang paham nasionalisme kebangsaan dimana mereka mempunyai kesepakatan perlunya paham nasionalisme kebangsaan, namun dalam konteks yang berbeda mengenai masalah nila atau watak nasionalisme Indonesia.

Revitalisasi Pancasila Sebagai Pemberdayaan Identitas Nasional
a.                                                       Revitalisasi Pancasila
Revitalisasi Pancasila sebagaimana manifestasi identitas nasionalpada gilirannya harus diarahkan juga pada pembinaan dan pengembangan moral sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan dasar dan arah dalam upaya untuk mengatasi krisis dan disintegrasi yang cenderung sudah menyentuh ke semua segi kehidupan, dan harus kita sadari bahwa moralitas Pancasila akan menjadi tanpa makna dan bahkan menjadi sebuah "karikatur" apabila tidak disertai dukungan suasana kehidupan dibidang hukum secara kondusif. Antara moralitas dan hukum memang terdapat korelasiyang sangat erat, dalam arti bahwa moralitas yang tidak didukung oleh kehidupan hukum yang kondusif akan menjadi bersifat subjektif yang satu sama lain akan saling berbenturan. Sebaliknya ketentuan hukum yang disusun tanpa disertai dasar dan alasan moral akan melahirkan suatu legalisasi yang represif, kontraproduktif, dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Dalam manifetasi Pancasila sebagai manifestasi identitas nasional, penyelenggara pendidikan kewarganegaraan hendaknya dikaitkan dengan wawasan berikut.
1)      Spiritual : untuk meletakkan landasan etika, moral, religiusitas, sebagai dasar dan arah pengembangan sesuatu profesi.
2)      Akademis:untuk menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan aspek being yang tidak kalah pentingnya, bahkan lebih penting daripada aspek having dalam kerangka penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang bukan sekedar instrumen, melainkan subjek pembaharuan dan pencerahan.
3)      Kebangsaan: untuk menumbuhkan kesadaran nasionalismenya agar dalam pergaulan antarbangsa, tetap setia kepada kepentingan bangsanya, banggga, dan respek kepada jati diri bangsanya yang memiliki ideologi sendiri.
4)      Mondial: untuk menyadarkan bahwa manusia dan bangsa dimasa kini siap menghadapi dialektikanya perkembangan dalam masyarakat dunia yang "terbuka".


b.Pemberdayaan Identitas Nasional
Dalam rangka pemberdayaan identitas nasional kita, perlu ditempuh upaya melalui revitalisasi Pancasila. Revitalisasi sebagai manifestasi identitas nasional mengandung makna bahwa Pancasila harus kita letakkan dalam keutuhannya dengan pembukaan, serta dieksplorasikan dimensi-dimensi yang melekat padanya, yang meliputi sebagai berikut.
1)      . Realitas : dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikosentrasikan sebagai cerminan kondisi objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyrakat.
2)      . Idealis : dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah sekadar utopia tanpa makna, melainkan diobjekkan sebagai "kata kerja" untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari esok yang lebih baik, melalui seminar atau gerakan dengan tema "Revitalisasi Pancasila."
3)      Fleksibilitas : dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan "tertutup", kemudian menjadi sesuatu yang sakral, melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus-menerus berkembang.

Dengan demikian, agar identitas nasional dapat dipahami sama oleh masyarakat sebagai penerus tradisi seperti dengan nilai-nilai diwariskan oleh nenek moyang kita, pemberdayaan nilai-nilai ajarannyaharus bermakna, dalam arti relevan dan fungsional bagi kondisis aktual sedang berkembang dalam masyarakat. Amelalui Revitalisasi Pancasila sebagai wujud pemberdayaan nasional inilah, identitas nasional dalam alur rasional- akademis tidak saja segi tekstual, melainkan juga segi kontekstualnya dieksplorasikan sebagai referensi kritik sosial terhadap berbagai penyimpangan yang melanda mayarakat dewasa ini. Untuk mengembangkan jati diri bangsa, dimulai dari nilai-nilai yang harus dikembangkan, yaitu nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, berani mengambil resiko, bertanggung jawab terhadap apa yang boleh dilakukan, adanya kesepakatan dan berbagai terhadap sesama.[5]

B. Globalisasi dan Ketahanan Nasional
1.      Hakikat Globalisasi
Secara umum globalisasi adalah suatu perubahan sosial dalam bentuk semakin bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan faktor - faktor yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi modern. Istilah globalisasi dapat diterapkan dalam berbagai konteks sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Memahami globalisasi adalah suatu kebutuhan, mengingat majemuknya fenomena tersebut.
Globalisasi merupakan fenomena berwajah majemuk. Istilah globalisasi sering diidentifikasikan dengan :
1.      Internasionalisasi, yaitu hubungan antarnegara, meluasnya arus perdagangan dan penanaman modal.
2.      Liberalisasi, yaitu pencabutan pembatasan -pembatasan pemerintah untuk mebuka ekonomi tanpa mata uang, kendali devisa, dan izin masuk suatu negara (visa)
3.      Universalisasi, yaitu ragam selera dan gaya hidup seperti pakaian, makanan, kendaraan, diseluruh pelosok penjuru dunia
4.      Westernisasi dan Amerikanisasi, yaitu ragam hidup model budaya barat atau Amerika
5.      De-teritorialisasi, yaituperubahan -perubahan geografi sehingga ruang sosial dalam perbatasan, tempat, dan jarak menjadi berubah.



Pengertian Globalisasi

Globalisasi telah banyak menyita perhatian pengamat sosial dan politik. Menariknya, karena begitu luasnya konsep ini digunakan, dikalangan ilmuan tidak terdapat kata sepakat mengenai defini yang pas mengenai Globallisasi. Mereka cendrung mendefinisikan Globalisasi dengan lebih menekankan aspek-aspek tertentu yang dipentingkan menurut inat dan fenomena yang hendak dijelaskan, sementara pada saat yang sama cenderung mengabaikan aspek – aspek yang lain.
Globalisasi menurut para Ilmuan
Para ilmuan tebagi menjadi tiga kelompok dalam melihat globalisasi, yakni kelompok hiperglobalis, kelompok skeptis, dan kelompok transformasionalis.
Masing-masing pandangan akan dipaparkan dalam uraian berikut. Menurut para pendukung hiperglobalis, globalisasi didefinisikan sebagai sejarah baru kehidupan manusia di mana “negara tradisional tidak lagi relevan, lebih –lebih tidak mungkin menjadi unit – unit bisnis dalam sebuah ekonomi global. Pandangan ini memberikan penekanan yang lebih teramat besar terhadap ekonomi dunia. Oleh karena itu, mereka melihat globalisasi ekonomi akan membawa serta gejala “denasioanalisasi” ekonomi melalui jaringa – jaringan produksi tradisional (transnastional network of production), perdagangan, dan keuangan. Dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas ini ( economics borderless ), emerintahan nasional tidak lebih dari sekedar transmission belts bagi kapital global, atau secara lebih singkat sebagai instituti perantara yang menyisip diantara kekuatan lokaldan regional yang sedang tumbuh, serta mekanisme peraturan global. Lebih lanjut, mereka mengatakan bahwa globalisasi ekonomi tengah membangun bentuk – bentuk baru organisasi sosial yang tengah menggantikan atau yang akhirnya akan menggantikan negara bangsa sebagai lembaga ekonomi utama dan unit politik masyarakat dunia. Merekan juga meklaim bahwa ekonomi akan membawa pola baru antara pemenang dan pecundang sekaligus dalam suatu ekonomi global. Perbedaan lama antara kelompok utara (negara –negara maju dan kaya) dan kelompok selatan (negara – negara berkembang dan miskin) akan menjadi anakromanisme karena pembagian buruh dalam ekonomi global menggantikan struktur tradisional antara pusat-periferi dalam suatu arsitektur yang lebih kompleks dari kekuatan ekonomi dunia. Akhirnya, mereka menyatakan bahwa kemunculan ekonomi global dan lembaga – lembaga governance global,  serta penyebaran dan hibridasi budaya dianggap sebagai fakta tatanan dunia baru yang radikal.
Kelompok pendukung pandangan kedua adalah kelompok skeptis. Tesis utama kelompok adalah globalisasi bukan lah merupakan fenomena yang sama sekali baru, tetapi mempunyai akar sejarah yang panjang. Kelompok ini menganggap bahwa tesis kelompok hiperglobalis secara fundamental cacat dan secara politik adalah naif karena menganggap remeh kekuasaan pemerintahan nasional dalam mengatur kegiatan ekonomi internasional. Sebaliknya, kelompok ini melihat bahwa kekuatan–kekuatan global itu sendiri sangat bergantung pada kekuatan mengatur dari pemerintahan nasional untuk menjamin liberalisasi ekonomi terus berlanjut. Mereka menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai pasar global sebagaimana yang dikonsepsikan oleh kaum hiperglobalis pada dasarnya hanya dilebih – lebihkan. Bagi sebagian besar kaum skeptis, ekonomi dewasa ini lebih didominasi ‘regionalisasi’ karena ekonomi dianggap mengglobal oleh kaum hiperglobalis hanyalah melibatkan ketiga blok perdagangan dan keuangan, yakni eropa, Asian-Pasifik, dan Amerika Utara. Selanjutnya, berbeda dengan kaum hiperglobalis yang meyakini bahwa persoalan perbedaan anatara kelompok utara dan selatan yang tidak lagi relevan karena akan lebih ditentukan oleh pembagian buruh, kaum skeptis justru menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan memarginalkan negara – negara Dunia ketiga karena perdagangan dan investasi hanya mengalit di kalangan negara –negara industri maju dan kaya.
Kelompok ketiga adalah transformasionalis. Inti pandangan kelompok ini adalah adanya keyakinan bahwa pada permulaan milineum baru, glonalisasi adalah kekuatan utama dibalik perubahan – perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang tengah menentukan kembali mesyarakat modern dan tatanan dunia ( world order ). Mereka menyatakan bahwa proses globalisasi yang tengah berlangsung saat ini secara historis belum pernah terjadi sebelumnya, diaman tidak ada lagi perbedaan anatara internasional dan domsestik, karena hubungan – hubungan internal dan eksternal tidak lagi menjadi jelas.
Para pendukung transformasionalis ini mempunyai keyakinan bahwa globalisasi yang berlangsung dewasa ini telah menempatkan kembali kekuasaan, fungsi, dan kekuasaan pemerintahan nasional. Salah satu pandangan penting dari kaum transformasionalis adalah negara tidak lagi bisa bersembunyi di balik klaim kedaulatan nasional. Sebaliknya, kekuasaan negara bangsa sekarang ini dalam mengambil keputusan harus disejajarkan dengan lembaga – lembaga governance global dan dari sudut pandang hukum internasional. Dalam kondisi seperti ini, negara bangsa yang mengelola dirinya sendiri dan sebagai unit yang otonom lebih merupakan klaim normatif dibandingkan sebagai suatu pernyataan deskriptif.[6]

Adapula beberapa pengertian globalisasi yang lain, yaitu :
Pertama, globalisasi sebagai transformasi kondisi spasial-temporal kehidupan. Hidup yang kita alami mengandaikan ruang (space) dan waktu (time). Namun, fakta itu juga berarti jika terjadi perubahan dalam pengelolaan tata ruang-waktu, terjadi pula transformasi pengorganisasian hidup. Misalnya, berbeda dengan masa lampau, akibat teknologi informasi sebuah berita atau kejadian di kawasan dunia lain dapat diketahui dalam beberapa menit saja oleh penduduk di belahan dunia lain.
Kedua, globalisasi sebagai transformasi lingkup cara pandang. Dengan kata lain, globalisasi menyangkut transformasi cara memandang, cara berpikir, cara merasa, dan cara mendekati persoalan. Isi perasaan kita tidak lagi hanya dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi dalam lingkup hidup dimana kita berada, tetapi oleh berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia. Demikian pula dalam hal budaya, ekonomi, politik, hukum, bisnis, dan sebagainya. Denngan kata lain, pada tataran ini globalisasi menyangkut transformasi isi dan cara merasa serta memandang persoalan di kalangan masyarakat dunia.
Ketiga, globalisasi sebagai transformasu modus tindakan dan praktik. Pada bagian ini, globalisasi menunjuk pada proses kaitan yang makin erat semua aspek kehidupan pada skala mondial. Gejala yang muncul dari interaksi yang makin intensif dapat dilihat dalam dunia perdagangan, media, budaya, transportasi, teknologi, informasi, dan sebagainya.
Dengan demikian, peningkatan saling keterkaitan antara seseorang atau satu bangsa dengan bangsa lainnya telah menggiring dunia ke arah pembentukan desa global ( global village). Desa global merupakan kenyataan sosial yang saling terpisah secara fisik tapi saling berhubungan dan saling memengaruhi secara nonfisik seperti haraga minyak bumi di pasaan dunia yang sangat memengaruhi haraga bahan bakar minyak Indonesia, fluktuasi harga tomat di eropa, misalnya, akan berdampak pada haraga tomat di pasar tradisional di Indonesia.
Hal serupa terjadi pula dalam bidang sosial, politik dan kebudayaan. Terdapat banyak faktor yang mendorong terjadinya globalisasi antara lain pertumbuhan kapitalisme, maraknya inovasi teknologi komunikasi dan informasi serta diciptakannya regulasi - regulasi yang meningkatakan persaingan dalam skala besar dan luas seperti hak cipta, standarisasi teknis dan prosedural dalam produk dan sistem produksi serta penghapusan hambatan perdagangan.

2.      Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional adalah kondisi dinamik suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan, baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam negeri, yang berlangsung maupun yang tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan nasional. Dalam rangka ketahanan nasional, peluang dan tantangan bangsa Indonesia dalam era globalisasi dapat dijumpai dalam beberapa bidang yang meliputi bidang politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Peluang dan tantangan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
 Bidang Politik
a.       Demokrasi menjadi sistem politik di Indonesia yang berintikan kebebasan mengemukakan kebebasan mengemukakan pendapat.
b.      Politik luar negeri yang bebas aktif
c.       Melaksanakan sistem pemerintahan yang baik (good governance) dengan prinsip partisipasi, rule of law, responsif, serta efektif dan efisien.
 Bidang Ekonomi
a.       Menjaga kestabilan ekonomi makro dengan menstanilkan nilai tukar rupiah dan suku bunga.
b.      Menyediakan lembaga-lembaga ekonomi yang modern (perbankan, pasar modal, dan lain-lain)
c.       Mengeksploitasi sumber daya alam secara proposional.
 Bidang Sosial- budaya
a.       Meningkatakan sumber daya manusia, yaitu kompetensi dan komitmen melalui demokratisasi pendidikan.
b.      Penguasaan ilmu dan teknologi serta mengaplikasikannya dalam kehidupan masyarakat. Menyusun kode etik profesi yang sesuai dengan karakter dan budaya bangsa.

B. Multukulturalisme : Antara Nasionalisme dan Globalisasi

Salah satu isu yang mengiringi gelombang demokratisasi adalah munculnya wacana multikulturalisme. Multikulturalisme pada intinya adalahkesediaan menerima kelompok lain ecara sama sebagai kesatuan tanpa memedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama. Menuurut Gurpreet Mahajan, konsep multikuturalisme sebenarnya relatif baru. Menurutnya, sekitar 1950-an gerakan multikutural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya.

Multikulturalisme memberi penegasan seseorang atau kelompokbahwa dengan segala perbedaannya diakui dan sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas yang berbeda saja tidak cukup, karena yang terpenting adalah komunitas tersebut diperlakukan sama oleh warga negara maupun negara.

1.                  Pengetian Multikulturalisme

Istilah multikuturalisme mulai digunakan orang sekitar tahun 1950-an di Kanada untuk menggambarkan masyarakat Kanada di perkotaan yang multikutural dan multilingual. Namun demikian, multikulturalisme menjadi konsep yang menyebar dan dipandang penting bagi masyarakat majemuk dan kompleks di dunia, dan bahkan dikembangkan sebagai strategi integrasi kebudayaan melalui pendidikan multikultural.

Ada beberapa istilah yang secara konseptual tampak mirip dengan terminologi multikulturalisme namun sebenarnya berbeda, misalnya pluralisme, diversitas, heterogenitas, atau sering disebut dengan istilah "masyarakat majemuk". Masyarakat majemuk (plural society) berbeda dengan keragaman budaya atau multikulturalisme (plural cultural). Masyarakat majemuk lebih menekankan soal etnisitas atau suku yang pada gilirannya membangkitkan gerakan etnosentrisme sanggat potensial tumbuh dan berkembang dalam masyarakat model ini. Karena wataknya yang sangat mengagungkan diri stereotip kesukuan, maka anggota masyarakat ini memandang kelompok lain dengan cara pandang mereka yang rasial dan primordial. Model masyarakat ini sangat rentan dengan konflik. Dengan kata lain, konflik yang mereka miliki dapat terjadi setiap saat.
Berbeda dengan konsep dan perspektif masyarakat majemuk, konsep multikulturalisme sangat menjunjung perbedaan bahkan menjaganya agar tetap hidup dan berkembang secara dinamis. Lebih dari sekedar memelihara dan mengambil manfaat dari perbedaan, perspektif multikulturalisme memandang hakikat kemanusiaan sebagai sesuatu yang universal. Manusia adalah sama. Bagi masyarakat multikultural perbedaan sebuah kesempatan untuk memanifestasikan hakikat sosial manusia dengan dialog dan komunikasi. Multikulturalisme sangat mementingkan dialektika yang kreatif.
Karakter masyarakat multikultural adalah toleran. Mereka hidup dalam semangat peaceful co-existence , hidup berdampingan secara damai. Setiap entitas sosial dan budaya masih membawa jati dirinya, tidak terlebur kemudian hilang, namun juga tidak diperlihatkan sebagai kebanggaan melebihi penghargaan kelompok dari berbagai etnik dan budaya hidup dalam societal cohesion tanpa kehilangan identitas etnik.

Dan kultur mereka. Sekalipun mereka hidup bersatu dalam ranah sosial tetapi antar-entitas tetap ada jarak. Prinsip "aku dapat bersatu dengan engkau, tetapi antara kita tetap ada jarak" sangat kuat dalam masyarakat multikultural. "aku hanya bisa menjadi aku dalam arti sepenuhnya dengan menjadi satu dengan engkau, namun tetap saja antara aku dan engkau ada jarak", merupakan prinsip lain dalam masyrakat multikultural. Untuk menjaga jarak sosial tersebut tetap kondusif diperlukan jalinan komunikasi, dialog, dan toleransi yang kreatif.

2.                  Multikulturalisme di antara Nasionalisme dan Globalisasi

Dalam sejarahnya, nasionalisme Indonesia melalui beberapa tahap perkembangan. Tahap pertama ditandai dengan tumbuhnya perasaan kebangsaan dan persamaan nasib yang diikuti dengan perlawanan terhadap penjajahan baik sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan. Nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler muncul bersamaan dengan munculnya gagasan Indonesia merdeka. Upaya dari kelompok nasionalis Islam untuk mendirikan negara yang berlandaskan islam dan kalangan nasionalis sekuler yang ingin dijadikan patokan untuk menganalisis kesadaran kebangsaan atau perasaan nasionalisme bangsa.

Tahap ketiga adalah nasionalisme persatuan dan kesatuan. Kelompok oposisi atau mereka yang tidak sejalan dengan pemerintah disingkirkan karena akanmengancam persatuan dan stabilitas. Perbedaan diredam bukan dengan menyelesaikan pokok persoalannya tetapi di tindas dan disembunyikan di bawah karpet. Terhadap luar negeri, nasionalisme berarti kedaulatan, integritas, dan identitas bangsa. Tekanan agar ada penghormatan terhadap hak -hak asasi manusia, demokrasi, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai campur tangan asing terhadap kedaulatan RI. Nilai- nilai universal oleh penguasa orde baru dianggap bertentangan dengan nilai-nilai bangsa atau demokrasi Pancasila.

Tahap keempat adalah nasionalisme kosmopolitan. Dengan bergabungnya Indonesia dalam sistem global internasional, nasionalisme Indonesia yang dibangun adalah nasionalisme kosmopolitan yang menandaskan bahwa Indonesia sebagai bangsa tidak dapat menghindari dari bangsa lain, namun dengan memiliki nasionalisme kultural keindonesiaan denngan memberikan kesempatan kepada aktor- aktor daerah secara langsung untuk menjadi aktor kosmopolit. Dalm hal ini konteks dan kecenderungan global ini, semakin banyak orang membayangkan menjadi warga dunia (world citizen) dan terikat pada nilai -nilai dan semangat generasi baru produk medernisasisme, yaitu cinta dan pembelaan kepada tanah ait secraa total bahkan nasional-buta. Nilai-nilai , semangat, dan patriotisme mereka mestinya diletakkan dalam semangat pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan  dan keadilan.

Upaya pembangunan Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: pertama, konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami oleh masyarakat Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional untuk mengadopsi dan menjadikan sebagai pedoman; kedua,kesamaan pemahaman di antara masyarakat mengenai makna multikultturalisme dan bangunan konsep yang mendukungnya.

Ada lima hal penting jika melihat hubungan antara Pancasila dan multikulturalisme.
Pertama, multkulturalisme adalah pandangan kebudayaan yang beorientasi praktis, yakni yang menekankan perwujudan ide menjadi tindakan. Ciri inilah yang memberikan kata sambung dengan Pancasila yang seyogyanya dipandang sebagai cita-cita. Multikulturalisme menghendaki proses belajar mengenai perbedaan kebudayaan yang dimulai dari sikap dan iteraksi hidup semakin berdekatan, seperti Indonesia. Dengan kata lain, multikulturalisme dapat juga disebut sebgaia penerjemahan Pancasila ke dalam konteks yang lebih konkret dan praktis. Atau, Pancasila harus diberi energi praktis multikulturalisme.

Kedua, multikulturalisme harus menjadi grand strategy ke masa depan, khususnya dalam pendidikan nasional yang menekankan learning by doing or practicing, dan tidak lagi semata-mata kognitif. Untuk itu dibutuhkan pemikiran yang komprehensif, konsisten, dan berjangka panjang yang melibatkan semua pihak.
Ketiga, dengan memosisikan multikulturalisme sebagai perwujudan Pancasila, maka kebudayaan tidak lagi dijadikan sampiran atau di jadikan kambing hitam jika terjadi pergolakan di masyarakat, melainkan di jadikan salah satu prioritas utama untuk membangun bangsa kareana integrasi bangsa tertumpu pada persoalan kebudayaan.

Keempat, kalau multikulturalisme didefinisikan sebagai "sejumlah kebudayaan yang hidup berdampingan, dan seyogianya mengembangkan cara pandang yang mengakui dan menghargai keberadaan kebudayaan satu sama lain", maka secara empiris dapat dipertanyakan apakah kriteria "saling menghargai" itu ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks empiris ini ditemukan bahwa Pancasila tampaknya kurang operasional untuk menjelaskan batas- batas kebudayaan.
Akan tetapi, jika memosisikan Pancasila sebagai cita-cita, maka persoalan metodologis tersebut tidak akan mempersulit posisi Pancasila.

Kelima, perubahan dari cara berpikipluralisme ke multikulturalisme dalam memandang Pancasila adalah perubhankebudayaan yang menyangkut nilai - nilai dasar yang tidak mudah diwujudkan. Diperlukan dua persyaratan:
a.       Kita harus memiliki pemahaman yang mendalam mengenai model multikulturalisme yang sesuai dengan kondisi Indonesia.
b.      Kebijakan itu harus berjangka pnjang, konsisten, dan membuutuhkan kondisi politik yang mendukung.

Konsep masyarakat multikultural tampaknya relevan bagi penegasan kembali identitas nasional bangsa Indonesia yangekslusif dan toleran dengan tetap mengakar pada identitasnya yang majemuk sebagaimana terefleksi dalam konteks dasar negara Pancasila. Dengan demikian, konsep masyarakat multikultural dapat menjadi wadah pengembangan demokrasi dan masyrakat madani di Indonesia. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat menjadi modal sosial (social capital) bagi pengembangan model masyarakat multikultural di Indonesia.[7]



Kesimpulan

identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan sendiri, atau negara sendiri. Mengacu pada pengertian ini, identitas tidak terbatas pada individu semata, tetapi berlaku pada suatu kelompok. Parameter Identitas Nasional adalah suatu ukuran atau patokan yang dapat  digunakan menyatakan sesuatu adalah menjadi ciri khas suatu bangsa. Sesuatu yang diukur adalah unsur suatu identitas seperti kebudayaan yang menyangkut norma, bahasa, adat istiadat dan teknologi, sesuatu yang alami atau ciri khas yang sudah seperti geografis.

Unsur-unsur Identitas Nasional yaitu : Suku Bangsa, Agama, Kebudayaan , dan Bahasa. Unsur- unsur pembentuk identitas nasional yaitu : unsur sejarah, kebudayaan, budaya unggul, suku bangsa,agama, dan bahasa.

Secara umum globalisasi adalah suatu perubahan sosial dalam bentuk semakin bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan faktor - faktor yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi modern.  











                                            Daftar Pustaka   


Heri Herdiawanto & Jumanta Hamdayama. Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwaganegara. Jakarta : Erlangga, 2002.

Hidayat, Komarudin dan Azyumardi Azra. Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE UIN Syarifhidayatullah, 2006.

Srijanti, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan Perguruan Tinggi. Mengembangkan Etika Berwarga Negara. Jakarta : Salemba Empat, 2009.

Budi Winarno. Globalisasi & Krisis Demokrasi. Yogyakarta : Media Pressindo, 2007.

Winarno, Dwi. 2006.Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, Panduan kuliah di Perguruan Tinggi.Jakarta: Bumi Aksara





[1] Heri Herdiawanto & Jumanta Hamdayama, "Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwaganegara", ( Jakarta : Erlangga, 2002 ), h. 32-36.
[2] Srijanti, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan Perguruan Tinggi, "Mengembangkan Etika Berwarga Negara", ( Jakarta : Salemba Empat, 2009, h. 40.


[3] Heri Herdiawanto & Jumanta Hamdayama, "Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwaganegara", ( Jakarta : Erlangga, 2002 ), h. 36.
[4] Srijanti, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan Perguruan Tinggi, "Mengembangkan Etika Berwarga Negara", ( Jakarta : Salemba Empat, 2009, h. 42-45.


[5] Heri Herdiawanto & Jumanta Hamdayama, "Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwaganegara", ( Jakarta : Erlangga, 2002 ), h. 37-43.
[6] Budi Winarno, "Globalisasi & Krisis Demokrasi", ( Yogyakarta : Media Pressindo, 2007 ), h. 11.
[7]Komarudin Hidayat dan Azyumardi Azra, "Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani", ( Jakarta : ICCE UIN Syarifhidayatullah, 2006, h. 25-31.

No comments:

Post a Comment